Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ichwan Arifin

Mata yang Merdeka di Washington DC

Wisata | Tuesday, 30 Nov 2021, 09:22 WIB

Oleh: Ichwan Arifin*

Selalu ada cerita dalam sebuah perjalanan. Kali ini, penulis berkesempatan berkunjung ke Washington DC (District of Columbia), ibukota Amerika Serikat. Sering disebut dengan DC saja. Lebih pendek dan sekaligus membedakan dengan negara bagian Washington.

Saat berada di DC sedang musim dingin. Meski matahari masih cerah dan belum banyak hujan, namun suhu rata-rata antara 4°C hingga 9°C. Sangat dingin bagi orang yang biasa hidup di daerah tropis. Perlu baju berlapis, “long john” untuk melapisi celana, jaket tebal, tudung kepala, “scarf” dan sarung tangan.

Kota ini secara resmi dibangun pada 1790 di atas semenanjung yang dibatasi Sungai Potomac dan anak sungainya, Anacostia. Mungkin pada waktu itu, pertimbangannya untuk memudahkan akses transportasi dan dapat menjadi pusat perdagangan atau pelabuhan komersial. Wilayah DC tidak luas, mengambil sedikit area negara bagian Maryland dan Virginia.

Dirancang secara visioner oleh arsitek Perancis, Pierre Charles L'Enfant. Sejak awal sudah didesain menjadi kota modern. Jalan-jalan yang besar, banyak taman kota dan ruang publik yang luas. Area dalam kota dibagi secara rapi perblok yang masih bertahan hingga kini.

Meski sudah berusia 231 tahun, namun tidak mencerminkan sebuah kota tua yang tak terawat. Washington DC berkembang menjadi kota yang luar biasa. Berkarakter, berkepribadian dan punya “soul” tersendiri. Pusat pemerintahan federal sekaligus kota metropolitan internasional dan pusat kosmopolitan, serta kaya dengan artefak sejarah yang luarbiasa.

Smithsonian merupakan grup museum terbesar di dunia. Terdiri dari beragam museum, seperti: National Air and Space Museum, Natural Museum of Natural History, National Museum of the American Indian, Anacostia Community Museum dan masih banyak lagi. Menyimpan sekitar 155 juta artefak sejarah. Sebagian besar museum itu terletak di Washington DC. Smithsonian juga menjadi pusat penelitian, pendidikan publik, layanan nasional. Ada juga beasiswa dalam seni, desain, sains, teknologi, sejarah, dan budaya.

Kota ini menjadi tempat yang menarik, aman dan nyaman untuk belajar, berlibur atau berwisata. Hanya saja, biaya hidup memang mahal (rumah, apartment, makan minum dan sebagainya). Namun masih ada kawasan tertentu yang harganya lebih murah. Bahkan ada juga orang Indonesia yang menyewakan rumah/kamar. Mirip tempat kos. Biasanya ditempati oleh para mahasiswa Indonesia yang dapat beasiswa di George Washington University.

Dari sisi transportasi publik sangat mudah, murah, aman dan nyaman. Semua tempat dapat dijangkau dengan transportasi publik. Mulai dari subway (di sini disebut dengan metro), bus dan taxi. Tiket metro dan bus relatif terjangkau serta terkoneksi satu dengan lainnya. Satu tiket dapat dipakai untuk kedua moda transportasi itu. Hal yang lazim ditemukan di kota-kota di Eropa dan negara-negara maju lainnya. Bedanya, di Washington DC, keluar masuk stasiun metro masih perlu “tap” tiket. Jika nilai uang dalam kartu cukup, maka pintu/gate baru terbuka. Sedangkan di sebagian besar kota-kota di Eropa tidak menggunakan pintu. Petugas jaga pun tidak ada.

Satu hal yang membuat nyaman dan sulit ditemukan di Indonesia adalah mata yang merdeka. Terbebas dari “intimidasi” dan “jajahan” papan reklame, billboard, spanduk, baliho politisi, bendera partai politik dan sebagainya. Kalau toh ada, jumlahnya tidak banyak dan ukurannya sangat kecil dan hanya di area tertentu.

Jadi, sorot mata kita ada pada lanskap yang luas, pemandangan asri atau pun gedung dan landmark yang indah. Kota tidak dikepung dengan jutaan baliho, poster dan ragam bentuk komunikasi visual tersebut. Mungkin hal itu juga akan berpengaruh pada psikologi para penghuni kota. Pikiran menjadi lebih bening. Keinginan konsumtif lebih terkendali. Apalagi juga tidak banyak pusat perbelanjaan (Mall) di DC. Mall di sini terkesan “so yesterday” alias jadul, dibandingkan dengan mall-mall besar di Jakarta dan Surabaya.

Situasi itu tentu terkait dengan kebijakan pemerintah. Dari sisi struktur pemerintahan, dikutip dari oca.dc.gov, ada 3 cabang pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) di DC. Pejabat lokal berwenang mengesahkan undang-undang dan mengatur urusan lokal, Namun, Kongres Amerika Serikat memiliki kekuasaan untuk membatalkan undang-undang setempat. Eksekutif dimpimpin oleh walikota yang dipilih oleh warga untuk masa jabatan 4 tahun. Namun untuk pengelolaan kota sehari-harinya, walikota menunjuk administrator kota.

Kota-kota di Indonesia banyak juga yang sudah berusia ratusan tahun. Misalnya, Jakarta berusia 494 tahun atau kota-kota besar lainnya yang juga sudah berusia ratusan tahun.

Namun, usia sebuah kota tidak selalu merefleksikan kualitas pengelolaan kota dan masyarakatnya. Lantas problemnya dimana? Anggaran tersedia, sumberdaya manusia juga ada. Pejabat kita juga sering kunjungan ke luar negeri. Mungkin masalahnya pada visi, konsistensi kebijakan dan tindakan. Karena membangun kota dan peradabannya tidak bisa dilakukan satu malam!

***

Ichwan Arifin. Alumnus Pascasarjana UNDIP, Ketua Forum Komunikasi Industri Hulu Migas Jawa Bali Nusa Tenggara (FKIHM Jabanusa).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image