Sabtu 27 Nov 2021 21:56 WIB

Kemenko PMK Ajak Muhammadiyah Tekan Angka Prevalensi Perokok

"Para petaninya ayo kita ajak bicara karena merekalah pemain-pemain utamanya."

 Ahmad (kanan), 80 tahun, merokok di sebuah jalan di Jakarta, 31 Mei 2021. Ahmad telah merokok sejak berusia 19 tahun, yang berarti ia telah merokok setiap hari selama kurang lebih 61 tahun. Data dari Southeast Asia Tobacco Control Alliance tahun 2016, Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi perokok terbesar di Asia Tenggara.
Foto: EPA-EFE/ADI WEDA
Ahmad (kanan), 80 tahun, merokok di sebuah jalan di Jakarta, 31 Mei 2021. Ahmad telah merokok sejak berusia 19 tahun, yang berarti ia telah merokok setiap hari selama kurang lebih 61 tahun. Data dari Southeast Asia Tobacco Control Alliance tahun 2016, Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi perokok terbesar di Asia Tenggara.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mengajak Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah membantu pemerintah menurunkan prevalensi perokok. Terutamanya, anak dan remaja dengan melakukan pendekatan kepada petani tembakau, produsen rokok, serta perokok.

"Peran Muhammadiyah sangat luar biasa dan kami berharap Muhammadiyah bisa memengaruhi petaninya (tembakau), para produsennya, dan para perokoknya," kata Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK Agus Suprapto dalam diskusi virtual bertajuk "Gerakan Muhammadiyah dalam Peningkatan Kesehatan dan Kesejahteraan Generasi Bangsa" dipantau di Yogyakarta, Sabtu (27/11).

Baca Juga

Menurut dia, banyak pihak yang memberikan edukasi dengan sebatas menyasar para perokok tanpa melakukan pendekatan pada aktor utamanya yakni produsen rokok dan petani tembakau. "Para produsennya ayo kita ajak bicara, para petaninya ayo kita ajak bicara karena merkalah pemain-pemain utamanya," kata dia.

Sesuai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, ia berharap Muhammadiyah mampu membantu menekan perokok pada usia anak dan remaja atau usia 10 sampai 18 tahun turun dari 9,4 menjadi 8,7 pada tahun 2024. Masih tingginya jumlah perokok, menurut dia, menjadi tantangan mewujudkan sumber daya manusia (SDM) unggul dan berbadaya saing di Tanah Air.

Jumlah perokok di Indonesia, kata dia, tergolong salah satu yang terbesar di dunia dengan jumlah lebih dari 65 juta orang. "Jumlah tersebut tentu terus berkontribusi dan tentu telah menciptakan orang-orang terkaya di Asia dengan latar belakang pemilik industri rokok," katanya.

Ia menyebutkan, survei Global Youth Tobacco Survey pada 2014 menyebutkan, bahwa perokok pelajar dalam jenjang usia 13-15 tahun di Indonesia mencapai 18,8 persen dan 57,8 persen dari remaja usia itu terpapar asap rokok. "60,6 persen pelajar tidak dicegah ketika membeli rokok. Padahal kalau di luar negeri pembelinya dibatasi tapi di Indonesia tidak ada yang mengingatkan itu," katanya.

Ia menilai perokok di kalangan remaja semakin memprihatinkan, terlebih dengan munculnya tren rokok elektronik atau yang dikenal dengan vape. Rokok elektrik atau vape, kata dia, menggunakan nikotin cair yang dipanaskan dan kemudian dihisap.

Uapnya akan memperberat tingkat adiksi karena dosisnya dapat ditambahkan terus menerus setiap kali dipakai. "Bagi anak dan remaja, konsumsi nikotin dapat memberikan dampak gangguan perkembangan otak terutama di daerah kortek prefrontal yang memiliki sembilan fungsi yaitu empati, pemahaman, respon dan fleksibilitas, pengaturan emosi, fungsi tubuh, moralitas, intuisi, komunikasi, dan respon tubuh terhadap kecemasan atau ketakutan," katanya.

Menurut dia, apabila anak atau remaja mengalami adiksi nikotin hingga dewasa besar kemungkinan mengalami gangguan fungsi kognitif atau kejiwaan. Mengingat dampak negatif lebih besar, ia berharap Muhammadiyah beserta seluruh komponen bangsa mampu menekan pertumbuhan jumlah perokok di Indonesia.

Ia mengakui pajak dan cukai membentuk 65 persen harga rokok sehingga ketika seseorang membeli rokok dengan harga Rp 20 ribu maka Rp 13 ribu masuk penerimaan negara. "Namun sayangnya penerimaan besar tersebut justru digunakan untuk menangani dampak kesehatan akibat rokok," demikian Agus Suprapto.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement