Jumat 26 Nov 2021 00:15 WIB

Korban Mendiang Diktator Korsel Chun Doo-hwan Menggugat

Chun Doo-hwan dianggap bertanggung jawab atas pembantaian demonstran di Gwangju

Rep: Shabrina Zakaria/ Red: Christiyaningsih
 Mantan Presiden Chun Doo-hwan (kanan) dan penggantinya Roh Tae-woo berdiri dalam seragam penjara di ruang sidang diadili atas berbagai tuduhan pemberontakan, korupsi dan pembunuhan di Seoul, dalam file foto ini tertanggal 26 Agustus 1996. Chun Doo-hwan dianggap bertanggung jawab atas pembantaian demonstran di Gwangju.
Foto: EPA-EFE/YONHAP
Mantan Presiden Chun Doo-hwan (kanan) dan penggantinya Roh Tae-woo berdiri dalam seragam penjara di ruang sidang diadili atas berbagai tuduhan pemberontakan, korupsi dan pembunuhan di Seoul, dalam file foto ini tertanggal 26 Agustus 1996. Chun Doo-hwan dianggap bertanggung jawab atas pembantaian demonstran di Gwangju.

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL— Kematian diktator militer terakhir Korea Selatan, Chun Doo-hwan, pada pekan ini menandai akhir babak yang memecah belah sejarah modern negara itu tapi membuat para penyintas kekerasan rezimnya tidak mencapai rekonsiliasi atau resolusi. Chun meninggal pada Selasa (23/11) di usia 90 tahun.

Ratusan orang diperkirakan tewas atau hilang ketika pemerintah Korea Selatan menumpas pemberontakan Gwangju dengan kejam terhadap pengunjuk rasa pro-demokrasi pada Mei 1980. Unjuk rasa pecah ketika Chun menjadi pemimpin de facto negara itu setelah memimpin kudeta militer.

Baca Juga

Bertahun-tahun setelah pembantaian itu, banyak hal yang belum dikonfirmasi, termasuk siapa yang memberi perintah kepada pasukan untuk menembaki para pengunjuk rasa. Bahkan, banyak korban yang belum teridentifikasi.

Para korban mengatakan kurangnya penyesalan dan kerja sama oleh mantan anggota rezim, termasuk Chun, telah menghambat upaya untuk menemukan kebenaran sepenuhnya. Salah seorang korban bernama King Young-man (57 tahun), mengaku masih menbawa bekas luka di kepalanya dari pukulan tongkat seorang petugas kepolisian. “Saya sangat khawatir banyak kebenaran akan disembunyikan dengan kematian Chun Doo-hwan,” tuturnya dilansir Reuters, Kamis (25/11).

Kim memberikan harapan, para mantan anggota rezim akan maju untuk menyoroti tindakan keras berdarah. Namun seperti banyak korban lainnya, mereka kecewa karena Chun meninggal tanpa menunjukkan penyesalan yang signifikan.

Beberapa bulan setelah meninggalkan kantor pada 1988 di tengah meningkatnya seruan untuk demokrasi, Chun menawarkan permintaan maaf resmi atas pelanggaran selama kepemimpinannya, termasuk Gwangju. Namun kemudian dia muncul untuk mengembalikan sebagian dari penyesalan tersebut, dengan mendorong para korban untuk meragukan ketulusan permintaan maaf itu saat dia mengambil sikap menantang dan defensif sampai akhir.

“Chun Doo-hwan bukan tipe orang yang meminta maaf. Namun jika dia meminta maaf, saya pikir ada kemungkinan warga Gwangju yang telah patah hati selama 41 tahun merasa sedikit lebih baik,” kata Kim melanjutkan.

Pada 1996, Chun dijatuhi hukuman mati atas tuduhan korupsi dan pengkhianatan. Akan tetapi hukumannya dikurangi menjadi penjara seumur hidup dan kemudian diringankan. Baru-baru ini dia terlibat dalam perselisihan hukum lainnya, termasuk dinyatakan bersalah pada 2020 karena mencemarkan nama baik seorang pendeta yang mengaku telah menyaksikan tindakan keras Gwangju.

sumber : AP
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement