Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image saman saefudin

Investasimu Tak Pernah Merugi, Warisanmu Mengabadi

Eduaksi | Thursday, 25 Nov 2021, 11:52 WIB

(Surat Cinta untuk Para Guru)

Dok pribadi

Adakah investasi yang yang dijamin tak pernah rugi? Begitu tanya kawan suatu waktu. Belum sempat kujawab, dia langsung menimpali pertanyaannya sendiri: Satu-satunya investasi yang mustahil merugi adalah investasi kebaikan.

Percakapan ini terjadi di medio 2011. Yang bertanya adalah seorang politisi, mantan Bupati Tegal. Agus Riyanto namanya. Dia salah satu sahabat dengan kecerdasan di atas rata-rata, sehingga diam-diam kujadikan guru. Aku menikmati proses intellectual exercise yang mengasyikkan dengannya, banyak ilmu dan petuahnya yang masih kusimpan rapi di ingatanku. Dan hanya soal waktu, ilmunya kusampaikan ulang ke orang lain. Begitulah cara paling ampuh merawat ilmu: mengajarkannya.

Beberapa orang bertanya dengan nada sangsi. “Nggak salah dia politisi?” Tentu pertanyaan ini lebih membutuhkan penjelasan ketimbang jawaban opsional ya atau tidak. Tetapi entah kenapa, jawabanku selalu kurang sukses memuaskan ke-kepo-an mereka. Mungkin karena mereka terlanjur mempersepsikan dunia politik dan para politisinya dengan citra minor, sehingga ceritaku seolah mengandung contradictio in therminis. Lalu untuk memenuhi kepuasan mereka, aku akan mengeluarkan senjata pamungkas: “Sebelum menjadi kepala desa, Ketua DPRD dan akhirnya Bupati Tegal dua periode, dia seorang guru di SMPN 1 Margasari”. Dan seketika mereka mengangguk, tak lagi mempersoalkan ceritaku.

Apakah jawabaku mengandung sihir? Haha, tentu saja tidak. Tetapi kuncinya ternyata ada pada kata “guru”. Ya, tanpa mereka memberikan penjelasan pun kita maklum, bahwa dalam sosok guru melekat reputasi moral yang tinggi. Para guru dianggap memiliki otoritas untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan, otoritasnya mendidik memungkinkan para guru mewariskan nilai-nilai yang abadi. Dan di balik cerita sukses setiap orang, pastilah terselip memori tentang gurunya di masa lalu.

Medio 1991, anak-anak sekolah di kampung kami berangkat dengan diantar Ayah atau Ibunya. Karena hari itu adalah jadwal pembagian buku raport. Sayangnya orang tuaku tak punya keberanian untuk datang ke sekolah. Mereka tak memiliki cukup uang untuk melunasi SPP ku yang menunggak sekian bulan. Meski celingukan di jalan dan sekolah, aku memang nekat pergi ke sekolah seorang diri, karena merasa nilai ujianku cukup bagus.

Tetapi menyaksikan satu persatu teman kelasku keluar kelas menenteng raport bersama orang tua, dadaku langsung sesak. Aku mencari sudut ruangan sepi, menangis sesenggukan seorang diri.

Aku seperti meratapi nasib. Membayangkan bisa seperti teman-temanku lainnya yang diantar orang tua mengambil raport. Aku seperti anak kecil yang menanggung beban hidup orang dewasa. Pilu rasanya menerima kenyataan bahwa orang tuaku miskin hingga tak mampu membayar SPP. Inilah salah satu momen hidup di mana aku benar-benar merasa insecure di hadapan teman-temanku yang lain.

Namun dalam momen hati yang melting ini, Tuhan seperti mendengar rintihanku. Dia kirimkan malaikat penyelamat dalam sosok guru, yang menangkap basah kesedihanku di sudut sekolah. Dia mendekat, duduk jongkok tepat di hadapanku, mengusap air mataku lantas membelai kepaku. Kenapa kamu menangis, Nak?

Aku pun menjawab pertanyaan Bu Guru dengan patah-patah, karena senggukan tangis yang masih tak mampu kukendalikan. Selang sesaat, dia memegang tanganku, mengisyaratkanku untuk berdiri dan ikut dengannya. Sang guru yang telah mengenaliku itupun mengantarkanku ke ruang kelas dua, tempat di mana wali kelas tengah membagikan raport kenaikan kelas kepada wali murid. Setelah berbisik di telinga wali kelasku, dia lantas mengambil buku raportku, melihat isinya sejenak, lantas memperlihatkannya kepadaku sambil senyum manis sekali.

“Jangan menangis, anakku. Kamu anak pintar. Ini lihat, nilai-nilaimu bagus, kamu ranking satu,” katanya sambil kembali mengusap kepalaku.

Aku terharu setiap mengenang momen ini, mengingat sosok guru berhati mulia itu. Ibu Tati namanya. Mungkin bagi dia, ini hanyalah sentuhan kecil. Tetapi bagi aku, dampaknya amat besar. Bukan sekadar memperlihatkan raport, sang guru sesungguhnya sedang membangunkan harapanku yang tengah terjatuh dengan keras. Dia telah membangunkan kepercayaan diriku dengan pesan pendek nan membekas (labelling): “Kamu anak pintar.

Hari ini, 25 November 2021, aku menuliskan ingatanku tentang guru di momen peringatan Hari Guru Nasional. Kenapa satu adegan kecil 30 tahun silam itu masih terekam dengan baik di kepalaku? Itulah keabadian yang diwariskan para guru, para pendidik. Kenapa bisa membekas dan abadi, karena mereka bergerak dengan hati. Strategi tak pernah akan cukup, tetapi dengan hati pastilah sampai ke hati, dan lantas abadi. Tepatlah apa yang pernah diucapkan sejarawan dan sastrawan Amerika, Henry Brooks Adams:

"Seorang guru mempengaruhi keabadian, dia tidak pernah tahu di mana pengaruhnya berhenti".

Selamat Hari Guru Nasional, untuk siapapun yang pernah berperan menjadi guru kehidupanku. Yakinlah, bahwa investasimu tak akan pernah merugi, warisanmu akan selalu mengabadi di hati kami. []

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image