Rabu 24 Nov 2021 14:13 WIB

Wagub Jabar: Jangan Ada Tikus di Rumah, Kita Bakar Rumahnya

Uu mengaku terusik dengan isu pembubaran MUI yang provokatif ini. 

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Wagub Jabar Uu Ruzhanul Ulum saat diwawancara di Kota Tasikmalaya.
Foto: Republika/Bayu Adji P
Wagub Jabar Uu Ruzhanul Ulum saat diwawancara di Kota Tasikmalaya.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Wakil Gubernur (Wagub) Jawa Barat (Jabar) Uu Ruzhanul Ulum mengajak, masyarakat untuk menyikapi isu pembubaran lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan lebih bijaksana. Kesalahan salah satu anggotanya, bukan berarti kesalahan seluruh isi lembaga, yang harus berujung pada pembubaran MUI. 

Terlebih, kata Uu, keberadaan MUI dinilai penting sebagai pemersatu pandangan umat Islam melalui fatwanya. "Kehadiran MUI sangat dibutuhkan oleh mayoritas umat Islam Indonesia, karena fatwanya dijadikan pegangan dalam melaksanakan nilai-nilai Islam oleh masyarakat," ujar Panglima Santri di Kota Bandung, Rabu (24/11).

"Jangan diibaratkan ada tikus di rumah, kita bakar rumahnya," imbuhnya.

Sebagai Panglima Santri yang tergabung dalam komunitas pesantren, Uu mengaku, terusik dengan isu pembubaran MUI yang provokatif ini. Karena, MUI merupakan salah satu lembaga yang dihormati dan disanjungi umat Islam di Indonesia.

Terlepas dari pihak mana yang memulai isu pembubaran ini, Uu menilai, pihak tersebut sepatutnya berdiskusi terlebih dulu dengan MUI, terkait ilmu akidah, fikih dan tasawuf. Sehingga, lebih paham esensi keberadaan MUI.

"MUI adalah lembaga yang kami hormati, organisasi yang umat Islam hargai dan sanjungi, kok tiba-tiba ada orang ingin membubarkan. Ini mengusik ketentraman umat Islam, mengusik kedamaian kami sebagai umat mayoritas," kata Uu.

"Hati saya bertanya, yang ingin membubarkan MUI itu umat Islam atau non muslim? Kalau umat Islam, mungkin harus berdiskusi dulu dengan MUI itu sendiri, terkait akidah, fikih dan tasawuf. Jangan (langsung) memancing reaksi umat mayoritas," imbuhnya.

Bukan tanpa alasan, Uu menekankan, pentingnya keberadaan MUI untuk mediator komunikasi dengan umat Islam, sudah dirasakan sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto. Menurutnya, lahirnya MUI berasal dari Komite Besar Ulama yang dibentuk pada tahun 1972 di Tasikmalaya, yang kemudian dipatenkan sebagai perpanjangan tangan dan mitra pemerintah satu tahun kemudian.

"Jadi MUI ini sangat dibutuhkan, di samping fatwa yang ditunggu oleh masyarakat umat Islam di Indonesia, juga sebagai penyambung lidah Islam dan fasilitator pemerintah. Oleh karena itu, sangat naif orang yang ingin membubarkan MUI," katanya.

Uu berharap, tidak ada lagi pernyataan provokatif dari tokoh-tokoh figur publik. Urusan MUI, kata dia, bersinggungan erat dengan isu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan), yang dapat berimbas pada terjadinya konflik yang tidak diinginkan.

Uu mengatakan, akan lebih baik apabila energi berargumen tersebut disalurkan untuk melahirkan solusi menangani pandemi dan mempererat nasionalisme guna meningkatkan pembangunan bangsa. "Harapan kami, tokoh-tokoh kalau ingin berstatement jangan memanas-manasi (provokatif), apalagi urusan MUI berdekatan dengan SARA," katanya.

Menurutnya, dia sudah lelah dengan konflik internal bangsa. Jadi, lebih baik berbicara tentang solusi menangani pandemi, meningkatkan ekonomi pasca pandemi, meningkatkan pendidikan untuk kemajuan bangsa, serta meningkatkan demokrasi sebagai salah satu pilar pembangunan bangsa ini. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement