Rabu 24 Nov 2021 13:42 WIB

Teringat Pak Emil Salim Ketika Ada Cekcok di Bandara

Cekcok di bandara dari pandangan 'beyond the law'

Prof. Dr Emil Salim. (ilustrasi)
Prof. Dr Emil Salim. (ilustrasi)

IHRAM.CO.ID, Oleh: Ridwan Saidi, Politisi Senior, Sejarawan, dan Budayawan Betawi

Sejak tahun 1978 selama empat tahun saya menjabat Wakil Ketua Komisi X DPR RI yang antara lain membidangi lingkungan hidup. Lima tahun berikutnya saya masih di Komisi X sebagai anggota saja.

Saya akrab dengan Pak Emil Salim selaku Menteri Lingkungan Hidup. Sembilan tahun berbeda pendapat sambil bersahabat, behaviour elit politik jaman itu sangat oke.

Laksamana Soedomo Kas Kopkamtib, kalau bicara tak kehilangan humor. Ketika ada yang ajukan pertanyaan kenapa pemerintah tak pernah menegur perokok, apa karena cukai tembakau OK buat penerimaan Negara? 

Pak Domo balik menukas: "Terkait penerimaan Negara dari cukai tembakau wewenang Menkeu untuk menjawab. Di situ saya hanya kemudian mencoba memahami kenapa banyak orang merokok. Saya tinjau home industry rokok di Jateng, pekerja kaum wanita. "Mereka melinting rokok manual sambil garuk-garuk kéték,'' lanjut Pak Domo sembari menirukan mereka. "Rupanya inilah sebab orang  suka merokok,'' selorohnya sembari disambut tawa hadirin yang kontan meledak riuh.

Beberapa waktu lalu saya sangat sedih ketika pada suatu hari menyaksikan acara debat di TV. Pak Emil Salim sedang bicara dipotong-potong terus oleh seorang anggota DPR. Ini jelas tak layak, apalagi usia mereka jauh berbeda. 

Kalau di wayang golek hal seperti itu tak terjadi karena sumber suara satu: Ki dalang. Lagi pula tabiat wayang golek juga kalau bicara harus menuding-nuding agar penonton tahu siapa yang lagi bicara: Gatotkaca apa Arjuna.

Satu dua hari ini media mewartakan angggota DPR, yang debat dengan Pak Emil Salim, beserta ibunya sejak pesawat landing hingga ke tempat pengambilan barang di bandara terlibat keributan dengan seorang wanita muda. Saya tak berhak judge mana yang benar. Tapi kesan saya keributan itu sangat tidak mengenakkan putra dan ibunya. Lebih-lebih  sang putra, tentu dapat dipahami.  Insiden ini mungkin sulit dilupakan 

Yang pasti, bahasa Indonesia dan daerah tidak punya kata asli untuk perkakas kelamin dan hubungan sex. Semua resapan. Pada dasarnya peradaban Indonesia halus. Menjadi kasar, terutama dalam kepolitikan, selama 20 tahun terakhir. Kekasaran itu merusak keseimbangan semesta alam. 

Maka akan terjadi re-equilibrium. Bisa skala personal, bisa juga nasional!

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement