Rabu 24 Nov 2021 07:02 WIB

Tanda Bahaya dari Eropa

Eropa kini menjadi episentrum Covid-19.

Wisatawan mengenakan masker di Bandara Schiphol, di Schiphol, Belanda. Eropa mengalami kenaikan kasus COvid-19.
Foto: EPA-EFE/KOEN VAN WEEL
Wisatawan mengenakan masker di Bandara Schiphol, di Schiphol, Belanda. Eropa mengalami kenaikan kasus COvid-19.

Oleh : Reiny Dwinanda, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Sebanyak 10 negara di kawasan Eropa masuk kategori kasus Covid-19 dengan "kekhawatiran yang sangat tinggi" versi Pusat Pengendalian Penyakit Eropa (ECDC). Tanda bahaya pun telah dibunyikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk semua negara.

Betapa tidak, hampir dua per tiga kasus baru Covid-19 global berada di Eropa. Peningkatan kasus telah terjadi selama enam pekan berturut hingga membawa negara-negara tersebut mengalami gelombang keempat atau kelima pandemi Covid-19.

Mengapa itu bisa terjadi? Setiap negara punya kasusnya masing-masing.

Jerman, misalnya, enggan melakukan pembatasan wilayah untuk mengendalikan penyebaran Covid-19. Negara yang tengah dihantam gelombang empat pandemi ini juga memiliki cakupan vaksinasi yang relatif rendah (67 persen). Menurut Johns Hopkins University, hampir sepertiga penduduk Jerman belum sepenuhnya mendapatkan vaksin Covid-19.

Kanselir Jerman Angela Merkel sampai memohon warganya yang memutuskan tidak divaksinasi untuk berubah pikiran sebagai bentuk solidaritas, demi melindungi satu sama lain. Sabtu lalu, Merkel menyebut negara dengan populasi terbanyak di Eropa ini akan mengalami beberapa minggu yang kelam dengan kasus harian antara 45 ribu hingga 50 ribu selama sepekan terakhir.

Sementara itu, di Eropa Barat, Belanda jadi negara yang pertama yang kembali memberlakukan lockdown parsial selama tiga pekan. Pembatasan di restoran, toko, dan acara olahraga dilakukan setelah rekor harian Covid-19 di sana mencapai 16.300 kasus pada Kamis pekan lalu.

Kasus melonjak sejak Belanda melakukan pencabutan pembatasan pada September. Di masih ada warga yang enggan untuk divaksinasi, berkurangnya efisiensi vaksin, utamanya pada lansia, pun turut menyumbang kenaikan kasus Covid-19.

Kondisi Bulgaria juga tak kalah mengkhawatirkan. Bulgaria menjadi salah satu negara dengan tingkat vaksinasi terendah di Uni Eropa dengan 23 persen dari total 6,9 juta penduduk yang divaksinasi penuh.

Misinformasi maupun pesan kontradiktif soal vaksin Covid-19 dari politikus dan pakar di Bulgaria membuat warga tak tergerak untuk divaksinasi. Selasa lalu, Bulgaria mencatat rekor tertinggi sejak awal pandemi dalam hal kematian akibat Covid-19 (334 jiwa) dan 5.286 kasus terkonfirmasi positif Covid-19.

Indonesia harus memetik pelajaran dari insiden di Eropa. Pertama, cakupan vaksinasi yang menduduki lima besar dunia bukan jaminan.

Berdasarkan penelitian, perlindungan yang diberikan vaksin turun seiring waktu. Di samping itu, vaksin tidak membuat orang kebal sepenuhnya sehingga butuh lapisan pertahanan berikutnya, yakni memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas.

Kedua, pandemi bersifat global. Kasus di luar bisa merembet jika pintu masuk tidak dijaga dan varian baru pun mungkin menyelinap.

Ketiga, potensi gelombang tiga Covid-19 juga ada seiring meningkatnya mobilitas masyarakat selama libur Natal dan Tahun Baru mendatang dan turunnya kepatuhan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan. Mumpung masih ada waktu, ayo pikirkan ulang rencana bepergian maupun kumpul-kumpul yang membuat kita semakin berisiko.

Keempat, pengujian dan pelacakan kasus tak boleh turun. Lalu, kelompok lansia yang masih rendah tingkat vaksinasi Covid-19-nya harus terus dipersuasi demi mencegah keparahan andaikan terinfeksi.

Kita sudah melihat betapa suramnya Indonesia saat diterpa gelombang dua Covid-19. Entah kapan pandemi ini akan menjadi endemi. Sampai itu terjadi, mari cari aman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement