Selasa 23 Nov 2021 13:01 WIB

Novel Sitti Nurbaya, Nikah Paksa karena Utang Orang Tua

Sitti Nurbaya mengkhianati kekasihnya Samsulbahri karena dinikahi Datuk Maringgih.

Novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli
Foto:

Dari kacamata pembaca setelah kemerdekaan, yang cinta tanah air, apalagi di era sekarang, akan sulit menentukan sikap. Apakah pembaca harus membela Samsulbahri atau lawannya Datuk Maringgih, yang merebut kekasihnya?

Jelaslah Datuk Maringgih seorang lintah darat. Ia berkuasa, lihai tetapi jahat menjerat ayahnya Sitti Nurbaya agar terjatuh karena utang. Ia lihai tetapi licik menjerat Sitti Nurbaya agar bersedia menjadi istrinya.

Namun Datuk Maringgih itu bertempur melawan Belanda. Walau motif perlawanannya karena keberatan soal pajak yang tinggi, ia berperang hingga mati melawan pemerintahan kolonial. Ia pejuang pribumi.

Sebaliknya, Samsulbahri itu pemuda penuh cinta, pintar dan baik. Pembaca iba melihatnya menjadi korban cinta, korban kelihaian Datuk Maringgih.

Tapi Samsulbahri menjadi tentara kolonial. Ia ikut menumpas aneka pemberontakan kaum pribumi melawan pemerintahan kolonial. Ia antek penjajah.

Mengapa sang penulis novel, Marah Rusli, memilih tokoh protagonisnya (tokoh utama yang baik) justru menjadi tentara Belanda? Mengapa pula ia memilih tokoh antogonisnya (tokoh utama yang buruk) justru pejuang melawan Belanda?

Novel ini ditulis di tahun 1922, di era kolonial. Marah Rusli sebagai penulisnya juga seorang yang melawan tradisi dan adat setempat. Ia melawan kehendak ayahnya, kehendak adat, agar ia menikah dengan gadis dari suku yang sama.

Marah Rusli tak patuh. Ia menikah dengan gadis dari suku Sunda. Ia tinggalkan pula tanah Minangkabau.

Marah Rusli juga mengecap pendidikan modern sehingga ia menjadi dokter hewan. Pendidikan modern bagi pribumi juga menjadi bagian politik etis penjajah Belanda. Ia merasakan manfaat kebijakan Belanda itu.

Semua itu membentuk alam berpikir Marah Rulsi. Mungkin baginya, di era kolonial, bekerja sebagai tentara penjajah, walau harus menumpas pemberontakan pribumi, itu bukan pekerjaan negatif.

Baca juga : Toilet SPBU Pertamina Gratis, Ini Komentar Pengamat

Karena itu, Samsulbahri pun, tokoh yang mendapatkan simpati pembaca, ia jadikan tentara Belanda. Di era itu, di alam pikiran Marah Rusli, menjadi petinggi tentara Belanda mungkin justru sebuah prestasi. Hal yang positif.

Sebaliknya, memberontak terhadap pemerintah, walau itu pemerintahan penjajah Belanda, tak serta merta menjadi tindakan heroik yang perlu dipuji. Itu pula sebabnya, tokoh antogonis Datuk Maringgih (tokoh utama yang buruk) diperankan juga sebagai pejuang melawan penjajah.

Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena di bulan Oktober 2021 sudah menetapkan. Novel Sitti Nurbaya dipilih sebagai satu dari 100 Buku Pilihan Yang Mewarnai Indonesia Sejak Era Kolonial.

Novel ini memberi warna zamannya. Ia membawa kita menengok batin Indonesia 100 tahun lalu. Itu era ketika tanah Minangkabau juga melahirkan Romeo-Juliet dan Sampek-Engtay versi Indonesia.

CATATAN:

1. Kisah cinta tak sampai seperti Sitti Nurbaya, versi yang menonjol adalah Romeo dan Juliet. Ternyata penulis aslinya bukan William Shakespeare. Ia hanya mengembangkan dari karangan orang lain.

https://www.britannica.com › topicThe Tragicall Historye of Romeus and Juliet | poetry by Broke

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement