Selasa 23 Nov 2021 05:27 WIB

'Tanpa Opium Taliban tak Dapat Mendanai Perang'

Afghanistan menyumbang lebih dari 80 persen dari produksi global opium pada 2015-2020

Rep: Dwina Agustin/ Red: Christiyaningsih
Petani di Afghanistan mengekstrak opium mentah dari bunga poppy di Provinsi Nangarhar, Afghanistan 12 Mei 2020. Afghanistan menyumbang lebih dari 80 persen dari produksi global opium pada 2015-2020.
Foto: EPA/Ghulamullah Habibi
Petani di Afghanistan mengekstrak opium mentah dari bunga poppy di Provinsi Nangarhar, Afghanistan 12 Mei 2020. Afghanistan menyumbang lebih dari 80 persen dari produksi global opium pada 2015-2020.

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Pengumuman rencana Taliban untuk melarang produksi opium di Afghanistan tidak mengganggu pedagang yang sudah lama terjun di industri itu. Para pedagang opium optimistis bisnisnya akan tetap berjalan karena dibutuhkan juga oleh kelompok tersebut.

"Mereka tidak dapat mendanai perang mereka jika tidak ada opium,” kata pedagang opium bernama Ahmed Khan yang beroperasi di Baramcha, dekat perbatasan dengan Pakistan.

Baca Juga

Khan telah berdagang obat itu selama seperempat abad dan yakin kelompok itu tidak mampu menghentikan perdagangan. "Akan ada reaksi dari petani opium, bandar narkoba, dan masyarakat jika Taliban melarang produksi opium. Taliban paling diuntungkan dari produksi opium selama 20 tahun," katanya dikutip dari The Guardian baru-baru ini.

Khan mengatakan dirinya menjual setidaknya 50 ton opium per tahun kepada pembeli di Baramcha. Kemudian penjual itu menyelundupkan obat itu ke provinsi Balochistan di barat daya Pakistan. Melintasi daerah pegunungan dan terjal, para penyelundup menuju barat ke Iran.

Afghanistan adalah produsen opium terbesar di dunia. Negara ini menyumbang lebih dari 80 persen dari produksi global antara 2015-2020. Industri ini pun menghasilkan jutaan dolar setiap tahun.

Menurut Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC), diperkirakan 6.300 ton opium dipanen di Afghanistan tahun lalu, jumlah yang dapat menghasilkan hingga 290 ton heroin murni. Jumlah lahan yang diberikan untuk produksi opium meningkat lebih dari sepertiga antara 2019-2020, menjadi 224 ribu hektare.

Pada 2019, UNODC memiliki data Taliban dan aktor non-negara lainnya mengumpulkan hingga 113 juta dolar AS pajak opium. Pada 2017, yang mencatat rekor panen, hingga 350 juta dolar AS dikumpulkan.

Namun dalam konferensi pers pertama setelah Taliban berkuasa pada Agustus, juru bicara kelompok itu Zabihullah Mujahid mengumumkan produksi obat akan dihentikan. Menurutnya, mulai sekarang tidak ada yang akan terlibat dalam perdagangan heroin dan tidak ada yang bisa terlibat dalam penyelundupan narkoba.

Pengumuman itu membuat harga opium hampir dua kali lipat dari 55 ribu afghani untuk 4,5 kilogram menjadi 100 ribu afghani. "Namun sekarang para pedagang tahu itu tidak akan dilarang, harganya turun," kata Khan.

Khan memprediksi akan ada ledakan dalam perdagangan opium ketika Taliban kembali berkuasa. Bukan hanya Khan yang tidak percaya Taliban dapat atau akan melarang produksi. Dengan runtuhnya ekonomi dan kekeringan mendorong jutaan orang kelaparan, pejabat Taliban di selatan memperingatkan tidak ada alternatif yang layak bagi petani.

"Petani dihadapkan pada ancaman kekeringan yang membayangi. Lahan pertanian dan kebun sangat terpengaruh dan itu akan memaksa banyak petani menanam opium karena itu adalah satu-satunya sumber kehidupan,” ujar gubernur provinsi Helmand, tempat sebagian besar opium ditanam, Abdul Ahad.

Menurut Ahad, jika masyarakat internasional tidak menerima tuntutan Taliban dan tuntutan warga sipil, para petani akan kembali menanam opium karena mereka tidak punya pilihan lain. "Masyarakat internasional harus membantu membuat bendungan, menyediakan benih, dan membantu petani menanam tanaman lain," katanya.

sumber : The Guardian/Al Arabiya
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement