Sabtu 20 Nov 2021 11:28 WIB

Ini Alasan Varian Delta Sulit Dikendalikan di Papua Nugini

Sejumlah faktor berkontribusi menghambat upaya pemerintah dan sistem kesehatan.

Petugas kesehatan merawat pasien Civud-19.Papua Nugini mengalami gelombang kasus virus corona yang dahsyat, dipicu oleh varian delta mematikan. (Ilustrasi)
Foto: AP/Tatan Syuflana
Petugas kesehatan merawat pasien Civud-19.Papua Nugini mengalami gelombang kasus virus corona yang dahsyat, dipicu oleh varian delta mematikan. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, PAPUA NUGINI -- Wabah Covid-19 varian Delta baru-baru ini berdampak buruk di Papua Nugini (PNG). Wabah ini diperburuk oleh kepatuhan yang rendah terhadap protokol pencegahan Covid-19 dan tingkat vaksinasi yang sangat rendah. 

Hal itu disampaikan oleh Pakar kebijakan publik dari Papua New Guinea National Research Institute, Elizabeth Kopel. Pada 1 November 2021, baru sekitar 315 ribu dari 8 juta orang di Papua Nugini telah divaksinasi. Hal ini membuat banyak orang bertanya mengapa penerimaan vaksinasi sangat rendah dan bagaimana situasinya dapat ditingkatkan. 

Sebelum varian Delta muncul, pemerintah Papua Nugini telah melakukan pekerjaan yang efektif dalam mengelola penyebaran Covid-19. Pada Maret 2020, virus pertama kali terdeteksi di negara itu dan pemerintah tegas menerapkan penguncian nasional selama beberapa bulan. 

"Tindakan cepat ini sebagian besar memang mampu mencegah penyebaran virus. Namun langkah itu memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi yang parah," kata Elizabeth dalam opininya dilansir dari situs Policy Forum pada Sabtu (20/11).

Dengan munculnya varian Delta, Elizabeth menyebut, pendekatannya bergeser ke salah satu tindakan selektif dengan berusaha mempertahankan keadaan normal sebanyak mungkin. Ini berarti bahwa bisnis diizinkan untuk terus beroperasi dan beberapa pembatasan telah diterapkan pada kehidupan masyarakat.

"Namun, dalam praktiknya, pendekatan ini tidak banyak berpengaruh pada penyebaran varian Delta," ujar Elizabeth.

Elizabeth menyebut, sejumlah faktor yang berkontribusi menghambat upaya pemerintah dan sistem perawatan kesehatan. Ia menyinggung masalah utama adalah kurangnya ketegasan pemerintah yang sejauh ini tidak memberikan arahan yang jelas dan pesan yang saling bertentangan. 

"Di satu sisi, dikatakan bahwa vaksinasi tidak wajib dengan harapan semakin banyak orang pada akhirnya akan memilih untuk divaksinasi. Di sisi lain, pemerintah mengizinkan pengusaha untuk memperkenalkan kebijakan 'no jab no job' (tak disuntik vaksin maka tak boleh kerja)," ujar Elizabeth.

Elizabeth juga menyampaikan kampanye anti-vaksinasi berkontribusi terhadap wabah tersebut. Apalagi gerakan itu terus meluas dan mendatangkan pawai protes yang telah menarik banyak orang di Port Moresby dan pusat-pusat kota lainnya. 

"Aksi protes ini telah memberikan kondisi ideal bagi virus untuk menyebar, dan juga ada pelecehan terhadap petugas kesehatan masyarakat dan tim vaksinasi," sebut Elizabeth.

Padahal Elizabeth menduga banyak dari propaganda anti-vaksin ini bermotif politik. Pertemuan publik dan pawai protes diduga sering dipicu oleh individu yang tertarik menggunakan agenda vaksinasi sebagai platform untuk mendapatkan popularitas jelang pemilihan nasional pada 2022. 

Di sisi lain, Elizabeth mengamati masalah lainnya yang berkontribusi pada rendahnya tingkat vaksinasi adalah pesan yang tidak tepat dan penyebaran informasi yang buruk. Apalagi pesan yang disebar didominasi berbahasa Inggris.

"Tingkat melek huruf di Papua Nugini hanya 63 persen, yang membatasi kemampuan orang untuk memahami dan memproses informasi mengenai Covid-19 dan vaksin," ucap Elizabeth. 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement