Kamis 18 Nov 2021 23:58 WIB

Indef: Pemberlakuan UMP 1 Persen tak Bisa Disamaratakan

Indef menilai pemberlakuan UMP harus tergantung kondisi ekonomi tiap daerah

Pekerja menyeberang di pelican cross Tosari saat jam pulang kerja di Jakarta, Rabu (17/11/2021). Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah memastikan rata-rata kenaikan upah minimum provinsi (UMP) pada tahun 2022 secara nasional sebesar 1,09 persen.
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Pekerja menyeberang di pelican cross Tosari saat jam pulang kerja di Jakarta, Rabu (17/11/2021). Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah memastikan rata-rata kenaikan upah minimum provinsi (UMP) pada tahun 2022 secara nasional sebesar 1,09 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan menyebutkan pemberlakuan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 1,09 persen tidak bisa disamaratakan di semua provinsi. Menurut Abdul Manap, UMP yang berpengaruh terhadap kesejahteraan para pekerja tidak bisa dipukul rata, karena situasi antar daerah yang berbeda dan harus ada pertimbangan kontribusi pada ekonomi.

"Sebaiknya dipilah-pilah agar memberikan dorongan bagi pekerja, kalau semua dipukul rata tanpa lihat kontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi, agak kurang pas juga," kata Abdul Manap saat dihubungi di Jakarta, Kamis (19/11).

Alternatifnya, ujar dia, bagi para pekerja di daerah yang ekonominya ditopang oleh industri padat karya, dan berkontribusi besar pada perekonomian, bisa tumbuh lebih tinggi upahnya. Pertimbangan lainnya, harus memperhatikan besaran inflasi daerah, yakni inflasi yang sangat berpengaruh pada kesejahteraan para pekerja.

"Kalau mau dipahami, kenapa pertumbuhan UMP hanya segitu, karena inflasinya rendah. Kalau melihat inflasi pangan, ternyata tinggi yakni 3,65 persen dan seharusnya itu menjadi rujukan, karena pangan erat kaitannya dengan kesejahteraan," ucap Abdul.

Sejumlah formula tersebut, kata Abdul, bisa diterapkan oleh Pemprov DKI Jakarta yang akan menentukan besaran kenaikan UMP pada Jumat (19/11)."Prinsipnya rumus yang tadi bisa digunakan untuk menentukan berapa kenaikan upah, meski tidak selalu sama tapi dilihat bagaimana perkembangannya industri dalam beberapa tahun terakhir," katanya.

Menurut Abdul, berapa kontribusi terhadap ekonomi daerah. "Kalau sudah besar jangan dibebani sangat besar, karena bisa berdampak ekonomi daerahnya tidak tumbuh, padahal berkontribusi besar buat ekonomi daerah," ujarnya.

Abdul mengakui, situasi ini sulit, di satu sisi bagaimana mengakomodasi keinginan buruh, dan di sisi lain tidak membebankan industri.

"Kalau saat ini situasinya masih repot. Kalau dipaksakan tinggi, maka industri manufaktur yang baru mulai bangkit dari pandemi, semakin sulit, karena kuartal kemarin pertumbuhan ekonomi masih belum bagus," ucapnya.

Pemerintah akhirnya mengambil keputusan soal UMP untuk 2022, yang akan menjadi acuan bagi semua provinsi di Indonesia.

"Setelah melakukan simulasi, tentu akan ditetapkan gubernur, nilainya berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) rata-rata kenaikan upah minimum 1,09 persen. Ini rata-rata nasional, kita tunggu saja para gubernur," kata Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah dalam pernyataan resmi, Selasa (16/11).

DKI Jakarta sendiri merencanakan penetapan besaran kenaikan UMP 2022 pada Jumat (19/11). Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengungkapkan pihaknya tidak bisa menetapkan besaran UMP berdasarkan pertimbangan satu pihak namun mendengarkan masukan dari semua pihak.

"Tidak diputuskan secara sepihak, kami harus mendengarkan pendapat, masukan, harus dialog, harus diskusi dan ini yang terus dilakukan," ucap Riza Patria di Balai Kota Jakarta, Kamis.

Riza mengungkapkan pihaknya ingin memberikan yang terbaik bagi semua pihak baik buruh, swasta, masyarakat dan pemerintah."Nanti pada waktunya akan disampaikan sesuai dengan aturan dan ketentuan yang ada prinsipnya kami akan memberikan yang terbaik," ucap Riza.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement