Kamis 18 Nov 2021 17:33 WIB

Asosiasi Minta Menkeu tak Lakukan Penambahan BMTP Baju Impor

Penambahan BMTP tersebut berpengaruh terhadap FoB sampai 70 persen.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Nidia Zuraya
Baju yang dijual di toko.
Foto: Pixabay
Baju yang dijual di toko.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia (Apregindo) menyayangkan adanya tambahan tarif dalam bentuk Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) bagi produk impor pakaian jadi. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan 142/PMK.010/2021 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Terhadap Impor Produk Pakaian dan Aksesori Pakaian.

"Kami berterima kasih atas kebijakan pemerintah yang telah menurunkan besaran Bea Masuk dari rekomendasi awal KPPI. Hanya saja, saat ini bea masuk yang dikenakan kepada garmen impor sudah cukup tinggi, yaitu sebesar 25 persen," ujar Ketua Umum Apregindo Handaka Santosa kepada Republika.co.id, Kamis (18/11).

Baca Juga

Dari perhitungan Apregindo, kata dia, BMTP tersebut cukup berpengaruh terhadap Free on Board (FoB) sampai 70 persen. Selain itu juga menggerus margin keuntungan dan menambah biaya lainnya seperti PPH Impor, proses sertifikasi SNI untuk beberapa kategori produk impor, proses inspeksi sebelum produk impor tiba di Indonesia, biaya perizinan yang tinggi, serta biaya pajak langsung dan tidak langsung lain.

"Bea masuk garmen 25 persen, PPN 10 persen, PPH 7,5 sampai 10 persen, biaya surveyor satu sampai dua persen. Jadi tanpa ada BMTP saja sudah 45 persen, dengan tambahan BMTP akan menjadi sekitar 70 persen, bagaimana turis nggak belanja ke Singapore, Thailand, dan Kuala Lumpur?" Kata Handaka.

Ia melanjutkan, penambahan BMTP tersebut akan berdampak pada dua hal. Pertama, biaya-biaya itu akan dibebankan kepada konsumen dalam bentuk kenaikan harga barang sehingga berujung pada inflasi, kedua, pengurangan margin keuntungan perusahaan yang berakibat pada penurunan kontribusi pajak.

Sebagaimana sektor perekonomian lainnya, saat ini sektor ritel yang menyokong konsumsi domestik sangat terpukul oleh berbagai persoalan akibat pandemi Covid-19. "Di tengah turunnya daya beli masyarakat, sektor kami yang menyasar kelas menengah dan atas sangat merasakan dampaknya," tutur dia.

Maka, lanjutnya, asosiasi memberikan beberapa masukan dan bahan pertimbangan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani. Di antaranya, pertama, yang menjadi pesaing garmen lokal dan mematikan pengusaha kecil serta menengah adalah garmen impor massal atau generic dengan harga sangat murah.

Kedua, kata dia, sebaliknya garmen impor merek global bukan pesaing, melainkan pelengkap produk lokal. "Produk-produk yang kami tawarkan kepada masyarakat memiliki konsep dan gaya berbeda. Tersedianya produk merek global yang lengkap dengan harga kompetitif di Indonesia dan terpadu dengan garmen lokal akan membuat nyaman turis mancanegara, meningkatkan belanja turis, serta menjadikan Indonesia sebagai shopping destination," jelas Handaka.

Ketiga, usaha ritel merupakan bagian dari konsumsi domestik yang berpotensi kuat mendorong pemulihan ekonomi Indonesia pascapandemi. Keempat, saat ini Indonesia menjadi salah satu produkai garmen impor merek global.

Kelima, penerapan BMTP akan membuat Indonesia semakin tidak kompetitif di sisi ritel, jika dibandingkan dengan negara tetangga. Baik dari sisi harga serta kelengkapan atau variasi produk. Akibatnya, konsumen kelas menengah atas lebih memilih belanja ke luar negeri dan semakin maraknya jasa penitipan barang dari luar negeri yang menimbulkan hilangnya potensi devisa dari PPN ritel serta bea masuk.

Keenam, sebagai pelaku bisnis ritel, Apregindo khawatir adanya potensi penurunan penerimaan negara dari bea masuk, PPN Impor, PPN Ritel, juga PPh Badan. "Kami menghormati sepenuhnya keputusan pemerintah atau Menteri Keuangan tentang BMTP, namun dengan fakta dan masukan kami, diharapkan dapat mempertimbangkan untuk dilakukan penundaan pelaksanaan PMK Nomor 142/PMK.010/2021," harap dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement