Soal UMP 2022, Legislator Ingatkan Pemerintah 

Jumlah kenaikan itu sangat kecil sekalipun diukur dari sisi inflasi. 

Kamis , 18 Nov 2021, 12:23 WIB
Upah Minimum Regional (ilustrasi).
Foto: Antara/Rosa Panggabean
Upah Minimum Regional (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani menyayangkan rendahnya rata-rata kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022 sebesar 1,09 persen. Netty menyindir pemerintah agar tak hanya berpihak kepada kepentingan pengusaha.

"Jangan hanya berpihak pada kalangan pengusaha, tapi harus memperhatikan juga kesejahteraan dari para pekerja. Apalagi selama pandemi ini kebutuhan dan biaya hidup terus naik," kata Netty dalam keterangan pers, Kamis (18/11).

Netty meragukan jumlah UMP 2022 dapat mencukupi kebutuhan hidup layak bagi para buruh. Menurut dia, jumlah kenaikan itu sangat kecil sekalipun diukur dari sisi inflasi yang hanya merupakan salah satu indikator dalam penentuan upah. "Tingkat inflasi tahunan sampai Oktober 2021 saja sudah 1,66 persen," ucap Netty.

Selain itu, Netty mempertanyakan efektivitas metode dan formula pemerintah dalam menyusun UMP 2022. Dia berharap, pemerintah mempertimbangkan kebutuhan hidup layak dalam menentukan UMP 2022.

"Apakah pemerintah sudah melakukan survei terhadap harga bahan pokok di pasar?" sindir Netty.

Netty lalu menyinggung penggunaan UU Cipta Kerja dalam banyak indikator penentuan upah justru tak berpihak kepada buruh. Oleh sebab itu, dia pernah mengutarakan penolakan UU Ciptaker walau kalah dengan suara mayoritas di parlemen.

Baca juga : UMP Babel 2022 Naik Jadi Rp 3.264.881

"Katakanlah pemerintah memakai itu (UU Ciptaker). Seharusnya, dalam PP 36/2021 juga ada indikator lain seperti tingkat daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja dan median upah. Jadi bukan hanya soal inflasi dan pertumbuhan ekonomi saja," ujar politikus dari PKS itu.

Netty meyakini, pertumbuhan ekonomi akan membaik bila UMP mengalami kenaikan. Sebab, kenaikan UMP bakal berpengaruh terhadap daya beli masyarakat.

"Jika UMP tidak naik atau bahkan turun maka konsumsi produk masyarakat juga akan menurun, sehingga lapangan kerja baru sulit untuk dibuka," tutur Netty.

Netty juga meminta agar pemerintah meninjau ulang penetapan UMP 2022. Dia mengingatkan pemerintah supaya memperhatikan jerita buruh yang belakangan ini kerap menggelar aksi unjuk rasa.

"Saya meminta pemerintah mencarikan jalan keluar terbaik dengan bersikap bijaksana atas berbagai aspirasi pada aksi unjuk rasa pekerja/buruh sehubungan dengan kenaikan UMP," ucap Netty.

Sebelumnya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak keras formula penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022, yang menghasilkan kenaikan UMP sebesar 1,09 persen. Bagi KSPI, kebijakan upah murah ini jauh lebih buruk dibanding yang terjadi pada rezim Orde Baru-nya Soeharto.

Sebagai perbandingan, dalam lima tahun terakhir, Upah Minimum selalu naik di atas 3 persen. Periode 2017 - 2020, Upah Minimum selalu naik di angka 8 persen lebih. Sedangkan pada 2021, tepat ketika pandemi Covid-19 sedang menggila, Upah Minimum naik 3 persen lebih. 

Baca juga : Kejakgung Copot Aspidum Kejati Imbas Kasus KDRT Disidang