Rabu 17 Nov 2021 14:18 WIB

Buruh Jabar Ancam Mogok Jika Upah Dihitung dengan PP 36/2021

Buruh menuntut agar upah minimun dihitung tidak gunakan PP 36/2021.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Bayu Hermawan
unjuk rasa buruh (ilustrasi)
Foto: Abdan Syakura
unjuk rasa buruh (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Buruh di Jawa Barat (Jabar) menuntut pemerintah agar dalam menetapkan Upah Minimum Tahun 2022 tidak menggunakan formula perhitungan PP 36/2021 tentang Pengupahan. Karena, menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI, Roy Jinto Ferianto, UU Cipta Kerja yang diuji secara formil dan materiil di Mahkamah Konstitusi belum ada putusannya.

"Kita sedang menunggu jadwal sidang pembacaan putusan, karena PP 36/2021 merupakan aturan turunan UU Cipta Kerja dan UU nya sedang diuji, sehingga pemerintah harus menghormati proses hukum di MK dengan menunda pelaksanaan UU Cipta Kerja," ujar Roy Jinto kepada wartawan, Rabu (17/11).

Baca Juga

Roy mengatakan, termasuk peraturan turunannya harus menunggu sampai adanya putusan MK baik secara formil maupun materil. Kemudian, penetapan upah minimum berdasarkan PP 36/2021 menghilangkan hak buruh melalui dewan pengupahan untuk berunding. 

"Karena semua data-data sudah diputuskan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sehingga fungsi Dewan Pengupahan hanya legitimasi dan mengamini saja," katanya.

Hal tersebut, kata dia, bertentangan dengan Konvensi ILO 98 tentang Hak Berunding Bersama dan juga KEPRES 107/2004 tentang Dewan Pengupahan, dalam PP 36/2021 mensyaratkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi kab/kota 3 tahun terakhir. Padahal, tidak semua kab/kota menghitung dan merilis pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan tersebut.

"Jauh-jauh hari kita teman-teman di kabupaten/kota sudah mencoba meminta data-data tersebut ke BPS kab/kota. 

Namun, kata dia, BPS menyatakan tidak mempunyai data-data yang dibutuhkan tiba-tiba muncul Surat Edaran (SE)  menaker RI tanggal 9 Nopember 2021 mengenai data-data pertumbuhan ekonomi se-Indonesia.

"Kami sangat meragukan data-data yang disampaikan Menaker tersebut, dalam sejarah pengupahan baru kali ini di Indonesia dalam penetapan Upah Minimum 2022 diatur mengenai ambang atas dan ambang bawah dalam penetapan upah minimum," paparnya.

Roy Jinto menjelaskan, kalau penerapan ambang batas dan ambang bawah diterapkan, maka sudah dapat dipastikan upah buruh beberapa tahun kedepan tidak akan naik. Kalaupun naik, hanya berkisar Rp 18 ribu.

"Oleh karena itu Serikat Pekerja/Serikat Buruh ditingkat Nasional dan Tingkat Daerah sepakat untuk melakukan Mogok Daerah dan Mogok Nasional," katanya.

Selain itu, kata dia, buruh pun memberikan beberapa tuntutan. Pertama, meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU Cipta Kerja. Kedua, menetapkan Upah Minimum Tahun 2022 sebesar 10 persen.

"Mogok akan kita lakukan sebelum penetapan Upah Minimum Tahun 2022," katanya.

Roy menegaskan, di bulan Desember 2022 apabila MK tidak membatalkan UU Cipta Kerja, maka buruh akan mogok nasional. Karena, buruh menilai bertentangan dengan UUD 1945 dan UU 12 tahun 2011 sebagaimana yang bisa  dilihat dalam fakta-fakta persidangan.  Semua ahli menyatakan bahwa Metode Omnibus Law tidak dikenal dalam UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan.

"Kami akan mogok nasional dan mogok Daerah. Ini terpaksa kami lakukan karena pemerintah memaksakan kehendak untuk mendegradasi hak-hak kaum buruh," katanya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement