Rabu 17 Nov 2021 16:55 WIB

Dradjad: Awas Perubahan Iklim Berefek Multiplier ke APBN

Isu karbon dan perubahan iklim berperan tingkatkan ekspor dan ekonomi Indonesia.

Aktivis lingkungan menggelar aksi di depan kantor Kedutaan Besar Inggris, Jakarta, Rabu (3/11/2021). Dalam aksinya mereka menantang negara-negara yang bertemu di KTT perubahan iklim COP26 untuk tidak hanya memenuhi janji pendanaan iklim yang telah lama tertunda namun juga membayar utang iklim mereka kepada negara berkembang sebanyak 100 miliar dollar per tahun untuk pembiayaan iklim.
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Aktivis lingkungan menggelar aksi di depan kantor Kedutaan Besar Inggris, Jakarta, Rabu (3/11/2021). Dalam aksinya mereka menantang negara-negara yang bertemu di KTT perubahan iklim COP26 untuk tidak hanya memenuhi janji pendanaan iklim yang telah lama tertunda namun juga membayar utang iklim mereka kepada negara berkembang sebanyak 100 miliar dollar per tahun untuk pembiayaan iklim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peneliti senior INDEF Dradja Wibowo mengatakan  isu perubahan iklim akan punya efek multipliernya besar sekali ke APBN, lapangan kerja dan ekonomi daerah.

Dradjad mengatakan kabon dan perubahan iklim (climate change) tidak bisa bertentangan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG) No. 13 dalam melawan perubahan klim dan dampaknya. Persoalan  sustainability dan keberlanjutan, dinilai Dradjad, berperan dalam meningkatkan ekspor dan ekonomi Indonesia.

"Efek multipliernya besar sekali ke APBN, lapangan kerja dan ekonomi daerah. Kelalaian mengurusi kelestarian terbukti memberikan kerugian besar baik bagi pengusaha mapun negara,” kata Dradjad dalam pesan watsappnya kepada Republika.co.id, Rabu (17/11).

Dijelaskannya, Joe Biden menjadikan perubahan iklim menjadi isu prioritas Joe Biden, dengan menerbitkan Executive Order (EO) 14008, pada 27 Januari 2021. Cakupan dari EO 14008 tidak hanya di dalam negeri Amerika Serikat (AS) tetapi juga di luar AS. John Kerry, sang tokoh kunci Paris Agreement, menjadi pejabat setingkat menteri di AS yang mengurusi climate change. AS pun tidak hanya mengutus lembaga-lembaga lingkungannya saja untuk mengurusi climate crisis, tapi lembaga-lembaga keamanan nasionalnya juga diminta ikut terlibat. Karena, AS mengantisipasi isu climate change yang oleh AS diprediksi akan menjadi salah satu sumber konflik ke depan.

Dalam konteks ini, menurut Ketua Dewan Pakar PAN ini, yang menjadi kunci bagi negara berkembang adalah soal finance. Selalu ada komitmen dan selalu ada consensus tapi real mechanism tidak pernah bisa dijalankan sehingga uang 100 miliar USD yang selalu didengungkan sampai sekarang belum terbukti. ''Monetary value dari carbon agreement yang pertama paling real bisa diihat pada 100 miliar USD. itupun masih panjang karena mekanismenya belum ada,” kata Dradjad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement