Selasa 16 Nov 2021 18:59 WIB

Pertamina Dukung Transisi Energi Melalui Peremajaan Kilang

Peremajaan kilang jadi salah satu inisiatif Pertamina untuk atasi gap transisi energi

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Dirut PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Djoko Priyono (kedua kiri). Pertamina, melalui Pertamina Kilang International (KPI) mendukung transisi energi melalui peremajaan kilang. Hal ini karena tren kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dan petrokimia hingga 2030 diperkirakan masih akan terus meningkat. Di sisi lain, kapasitas kilang belum bisa memenuhi kebutuhan BBM maupun petrokimia.
Foto: ANTARA/Idhad Zakaria
Dirut PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Djoko Priyono (kedua kiri). Pertamina, melalui Pertamina Kilang International (KPI) mendukung transisi energi melalui peremajaan kilang. Hal ini karena tren kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dan petrokimia hingga 2030 diperkirakan masih akan terus meningkat. Di sisi lain, kapasitas kilang belum bisa memenuhi kebutuhan BBM maupun petrokimia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertamina, melalui Pertamina Kilang International (KPI) mendukung transisi energi melalui peremajaan kilang. Hal ini karena tren kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dan petrokimia hingga 2030 diperkirakan masih akan terus meningkat. Di sisi lain, kapasitas kilang belum bisa memenuhi kebutuhan BBM maupun petrokimia. 

Direktur Utama PT Pertamina Kilang International (KPI) Djoko Priyono mengatakan kebutuhan BBM diperkirakan mencapai 1,5 juta bopd hingga 2030, sedangkan kapasitas kilang saat ini 700 ribu bopd atau ada gap 800.000-an bopd.

Baca Juga

Sementara itu, kebutuhan petrokimia hingga 2030 mencapai 7.646 kilo ton per tahun. Saat ini di dalam negeri baru bisa memproduksi produksi 1.000 kilo ton per tahun. 

"Untuk mengatasi gap tersebut sekaligus menuju transisi energi, ada lima inisiatif di sektor energi dan petrokimia yang dilakukan KPI," kata Djoko, Selasa (16/11).

Menurut Djoko, lima inisiatif adalah arah yang dilakukan kalau terjadi penurunan konsumsi BBM, yakni konversi dari produk BBM ke bahan baku petrokimia hingga petrokimia. Sebelum 2020 solar masih impor, dengan adanya B10-B20   hingga kini tidak ada lagi impor solar dan avtur.

"RDMP fokus pada gasoline pertaseries, yang sampai 2030 diprediksikan masih ada gap sehingga beberapa RU (Refinery Unit) fokus pada gasoline pertaseries, Selain itu, kami juga meningkatkan kualitas produk dari Euro 2 ke Euro 5," ungkap Djoko.

Untuk GRR Tuban diharapkan mampu memproduksi 30 persen kebutuhan petrokimia di dalam negeri. Pengembangan petrokimia juga dilakukan dengan meningkatkan produksi PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), anak usaha KPI. Hal ini dilakukan apabila kebutuhan BBM bisa disubstitusi ke energi terbarukan.

“Akan di-convert ke petrokimia untuk kebutuhan dalam negeri. Apalagi saat ini kebutuhan petrokimia dalam negeri 70 persen masih impor,” kata dia. 

Inisiatif lainnya, lanjut Djoko, KPI akan mengembangkan produk turunan kilang, akan diperhatikan sampai betul-betul produk downstream, seperti untuk bahan baku ban maupun parafin. Semua bahan baku ada di kilang untuk produk produk tersebut sampai pada end customer. KPI juga akan men-develop biorefinery, feedstock dari sawit.

“Ini dalam upaya mengantisipasi transisi energi, juga dalam rangka konversi apabila terjadi penurunan konsumsi BBM. Tentunya akan sangat mengurangi CAD  (current account deficit) pemerintah apabila petrokimia bisa diproduksi dalam negeri,” kata Djoko.

Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis Joko Widi Wijayanto,  mengatakan berdasarkan data Pertamina Energy Institute, bisnis fuel akan menghadapi tantangan dengan gross margin 12 dolar AS per barel dan spread gas oil di posisi 17. Selain itu, ada gross margin di produk petrokimia. Sementara harga minyak pada 2030 diperkirakan 54 dolar AS per barel. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement