Senin 15 Nov 2021 07:53 WIB

Hasrat Nyapres yang Membuncah

Deklarasi capres sudah mulai marak di berbagai daerah.

Sejumlah relawan membacakan deklarasi dukungan calon presiden di Taman Pancasila, Tegal, Jawa Tengah, Rabu (10/11/2021). Deklarasi Relawan Garda Bhineka (RGB) tersebut guna mendukung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden pada Pemilu 2024.
Foto: ANTARA/Oky Lukmansyah
Sejumlah relawan membacakan deklarasi dukungan calon presiden di Taman Pancasila, Tegal, Jawa Tengah, Rabu (10/11/2021). Deklarasi Relawan Garda Bhineka (RGB) tersebut guna mendukung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden pada Pemilu 2024.

Oleh : Agus Yulianto, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam sebulan terakhir, aksi deklarasi dan dukungan nyapres terhadap publik figur, terlihat marak. Padahal pesta demokrasi rakyat di Tanah Air, ini masih cukup lama yakni di 2024.

Namun libido politik dari publik figur ataupun kelompoknya, untuk melakukan aktivitas pengenalan diri, telah membuncah lebih awal. Pertanyaannya, wajarkah itu dilakukan pada saat negara ini masih menghadapi pandemi Covid-19?

Pengamat politik Arief Poyuono menyindir deklarasi dukung mendukung calon presiden dan wakil presiden (capres/cawapres) di Pilpres 2024. Dia menuding, deklarasi itu dibuat-buat karena ada yang ingin 'tergesa-gesa' menjadi presiden.

Dan itu, banyak dilakukan oleh mereka yang notabene pejabat negara yang masih aktif. Sepertinya, mereka sudah pada enggak kuat menahan hasrat nyapres-nya, ingin cepat-cepat menggantikan Jokowi.

Bisa jadi, para tokoh yang dideklarasikan para relawan pendukungnya itu, tak percaya lagi dengan Presiden Jokowi. Padahal, Jokowi masih akan menjabat tiga tahun lagi. Atau bisa jadi menyosialisasikan diri lebih awal, sehingga dikenal namanya di kalangan masyarakat luas.

Ya, deklarasi capres/cawapres seolah menjadi 'senjata' ampuh untuk meraih simpati publik. Memang kita sulit untuk percaya, jika deklasrasi ini murni inisiatif para relawan. Karena pasti ada yang menggerakkan deklarasi. Yang jelas saat ini, entah itu atas inisiatif sendiri atau memang suruhan, deklarasi figur capres/cawapres itu telah marak dilakukan di sejumlah daerah.

Tak dipungkiri, relawan telah menjadi salah satu faktor pendorong meningkatkan elektabilitas seseorang. Relawan adalah aset politik dalam setiap kontestasi. Relawan yang terkelola dengan baik akan membawa dampak elektoral bagi orang yang didukungnya. Contohnya, ketika relawan berperan dalam pemenangan Joko Widodo pada pilpres 2014 dan 2019, lalu.

Sehingga, wajar bila faktor relawan ini memang kemudian mendongkrak benar, membuat politik itu menjadi meriah. Meriah dalam arti tingkat partisipasinya, tapi juga ini mendorong elektabilitas dan juga pihak pemenangan.

Banyak cara juga yang dilakukan para relawan, agar calonnya terpilih. Maka, wajar juga bila ada 'perang' atau 'jegal lawan' sebelum kontestasi politik lima tahunan itu berlangsung.

Mengutip peneliti Populi Center Usep S Ahyar yang menyindir PDIP yang mempertahankan Presidential Threshold (PT) sebesar 20 persen. Padahal, PT atau ambang batas mengusung capres itu dianggap mempersulit munculnya pilihan alternatif bagi masyarakat di Pilpres 2024.

Langkah PDIP yang menjaga PT 20 persen, sepertinya dimaksudkan untuk 'menjegal' kompetitor di Pilpres 2024. Ini tidak terlepas dari kemungkinan PDIP mengusung Puan Maharani, yang elektabilitasnya belum setinggi calon yang lain. Nama-nama seperti Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, dan sejumlah nama lain, memiliki elektabilitas yang lebih moncer, sehingga lebih menarik pilihan calon bagi partai-partai lain.

Jika PT tinggi dipertahankan maka diharapkan nama seperti Ganjar Prabowo akan terganjal di syarat mengusung calon. Biarpun sebenarnya Ganjar adalah kader PDIP, sehingga mereka juga masih berpeluang untuk mengusung Ganjar sebagai calon.

Maka, mempertahankan PT itu, memang karena PDIP tidak memiliki calon yang elektabilitasnya tinggi. Sementara, biarpun ada kader yang elektabilitasnya tinggi di partai itu (Ganjar Pranowo), tapi terjegal dengan sendirinya sebelum bertarung.

PDIP mungkin masih menunggu momentum untuk memutuskan calon yang akan mereka usung (biarpun santer nama Puan sebagai calon yang ingin dimajukan). "Politik itu kan soal momentum, bukan soal cepat lambat. Sekarang siapa yang memutuskan? Saya bilang kotak 'pandora'nya (Pilpres 2024) ada di PDIP," ujar Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Andreas Hugo Pareira, di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Setali tiga uang. Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Golkar pun terus melakukan konsolidasi ke DPD Partai Golkar di seluruh Indonesia. Tujuannya, untuk memanaskan mesin partai guna menghadapi pemilihan umum (Pemilu) 2024.

Apalagi berdasarkan keputusan musyawarah nasional (Munas) 2019 dan rapat pimpinan nasional (Rapimnas) 2021, mereka akan mengusung Airlangga sebagai calon presiden di 2024. "Sudah memutuskan Pak Airlangga dicalonkan menjadi calon presiden. Tentu kader harus kerja untuk mengamankan keputusan organisasi itu," ujar Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Golkar .

Partai Golkar dan Nasdem juga tetap menginginkan pemberlakuan ambang batas pencalonan di angka 20 persen. Tujuannya pun jelas agar lawan poltiknya tidak bisa bermanuver.

Berbeda dengan relawan ANIES. Mereka harus berjuang keras untuk meraih simpati masyarakat, karena gubernur DKI Jakarta itu, hingga kini tidak memiliki kendaraan politik. Maka, deklarasi yang dilakukan para relawan di sejumlah wilayah Tanah Air, adalah sesuatu yang wajar. Apalagi, berdasarkan hasil beberapa survei menyebutkan, elektabilitas Anies Baswedan terus meningkat.

Pelaksanaan pilpres  masih tiga tahun lagi. Akan lebih baik jika para pejabat negara fokus dulu menuntaskan pekerjaannya di pemerintahan. Redamlah terlebih dulu 'libido' nyapres dengan penanganan masyarakat yang masih membutuhkan perhatian dan bantuan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Semoga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement