Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Azza Zahra

Keterwakilan Perempuan di Dalam Lingkungan Politik

Politik | Thursday, 11 Nov 2021, 03:08 WIB
Oleh: Azza Zahra Putri Palupi, Mahasiswi Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta

Feminisme adalah serangkaian gerakan sosial, gerakan politik, dan ideologi yang memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mendefinisikan, membangun, dan mencapai kesetaraan gender di lingkup politik, ekonomi, pribadi, dan sosial. Feminisme menggabungkan posisi bahwa masyarakat memprioritaskan sudut pandang laki-laki, dan bahwa perempuan diperlakukan secara tidak adil di dalam masyarakat tersebut. Upaya untuk mengubahnya termasuk dalam memerangi stereotip gender serta berusaha membangun peluang pendidikan dan profesional yang setara dengan laki-laki. Banyak gerakan dan ideologi feminis yang telah berkembang selama tahun-tahun terakhir ini serta mewakili berbagai sudut pandang dan tujuan.

Masalah keterwakilan perempuan dalam politik di Indonesia menjadi wacana yang penting dalam upaya meningkatkan partisipasi politik perempuan. Pembicaraan mengenai keterwakilan politik perempuan tidak dapat dilepaskan dari partisipasi politik perempuan secara umum. Banyak argumen yang menerangkan pentingnya keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam politik, tetapi kondisi empiris juga menunjukkan banyaknya faktor yang menghambat partisipasi politik perempuan. Center for Asia-Pasific Women in Politics mencatat adanya dua faktor utama, yaitu: 1. Pengaruh dari masih mengakarnya peran dan pembagian gender antara laki-laki dan perempuan yang tradisional yang membatasi atau menghambat partisipasi perempuan di bidang kepemimpinan dan pembuatan kebijakan atau keputusan; 2. Kendala-kendala kelembagaan (institusional) yang masih kuat atas akses perempuan terhadap kekuasaan yang tersebar di berbagai kelembagaan sosial-politik, antara lain tipe sistem pemilihan umum (pemilu).

Keterlibatan perempuan dalam politik menjadi sutu kajian yang menarik, sebagaimana diungkap oleh Huntington dan Nelson (1994) bahwa peran politik perempuan dalam perspektif feminisme radikal dilihat dari transformasi total perempuan yang semula hanya berada pada ranah domestik kemudian menempati ruang-ruang public atau dalam istilah lain adalah memperlihatkan harapan dan kesetaraan gender. Dalam perspektif ini, perempuan tidak hanya mengisi ruang-ruang publik dalam bidang politik, akan tetapi kiprahnya juga telah memasuki ranah pembangunan, pendidikan, ekonomi, sosial budaya, dan pemerintahan. Diskriminasi peran perempuan menurut Thalib (2014) berasal dari nilai sosial budaya masyarakat yang memandang pentingnya laki-laki dan sistem pembagian kerja dalam pandangan masyarakat agraris yang lebih menyingkirkan peran perempuan dalam kerja produksi. Sehingga perempuan dianggap hanya layak mengerjakan pekerjaan domestik.

Partai Politik didalam kepengurusan masih didominasi oleh laki-laki, sehingga kebijakan yang dilahirkannya juga belum berpihak kepada perempuan, walaupun Undang-Undang UU No. 2 Tahun 2008 memuat kebijakan yang mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat. Namun ketika sampai ke daerah di dalam implementasinya masih jauh dari harapan. Ketika penempatan kepengurusan Partai dan Pencalegkan masih didominasi oleh laki-laki dan didalam menafsirkan keterwakilan 30% perempuan, masih sangat kaku, sehingga pada umumnya perempuan diletakkan di nomor urut 3, penyusunan secara Zipper artinya setiap 3 caleg harus ada minimal satu perempuan.

Salah satu penelitian tentang keterwakilan perempuan di antaranya menunjukkan bahwa tiga faktor utama yang memiliki pengaruh paling signifikan terhadap tingkat keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga yang anggotanya dipilih adalah: 1. Sistem pemilu; 2. Peran dan organisasi partai-partai politik; 3. Penerimaan kultural, termasuk aksi mendukung (affirmative action/aksi afirmatif atau diskriminasi positif) yang bersifat wajib atau sukarela.

Salah satu bentuk affirmative action adalah pemberian kuota dalam jumlah tertentu bagi perempuan. Ide inti dibalik sistem kuota adalah merekrut perempuan untuk masuk dalam posisi politik dan memastikan bahwa perempuan tidak sekedar merupakan “tanda” dalam kehidupan politik. Kuota bagi perempuan merupakan suatu jumlah tertentu atau presentase dari anggota suatu badan, apakah itu suatu daftar kandidat (calon anggota legislatif/caleg), majelis parlemen, suatu komite, atau suatu pemerintahan. Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan agar perempuan, paling tidak merupakan satu “minoritas kritis” (critical minority) yang terdiri dari 30% atau 40%. Satu hal yang penting adalah bahwa kuota ini hanya diterapkan sebagai tindakan temporer. Apabila hambatan struktural terhadap masuknya perempuan dalam politik telah dapat disingkirkan, maka kuota tidak perlu diterapkan lagi. Hal ini tidak terlepas dari dasar pertimbangan penerapan kuota itu sendiri, yaitu perempuan tertinggal jauh “start”-nya ketika memasuki dunia politik dibanding dengan laki-laki.

Keterlibatan perempuan dalam politik harus mendapat dukungan kaum laki-laki terhadap kesetaraan gender menjadi salah satu upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan partisipasi perempuan di setiap kegiatan demokrasi melalui partai politik. Bentuk partisipasi yang paling tinggi didalam politik itu adalah pemberian suara pada pemilu, partisipasi ini banyak dilakukan oleh perempuan, kemudian partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum dalam politik, partisipasi perempuan ini sudah mulai berkurang, banyak perempuan tidak suka diskusi politik akan tetapi budayanya perempuan lebih menyukai diskusi ringan yang terkadang tidak ada manfaatnya. Partisipasi berikutnya adalah partisipasi dalam rapat umum, demonstran dan lain-lain seperti unjuk rasa untuk memperjuangkan sesuatu atau menyampaikan aspirasi kepada pihak pemegang kebijakan, dan partisipasi berikutnya adalah keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik, kemudian anggota aktif.

Partisipasi politisi perempuan di Partai Politik belum sesuai dengan harapan, hal ini mungkin perlu dikaji ulang partai politik terhadap faktor-faktor yang menjadi penyebab mengapa partai politik belum berpihak pada perempuan atau apakah perempuan itu sendiri yang belum siap untuk masuk ke ranah politik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image