Jumat 12 Nov 2021 13:31 WIB

Pakar Hukum Unair Komentari Permendikbud PPKS

Kampus hanya bisa melakukan hukuman berupa DO atau hukuman administratif lainnya.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Muhammad Fakhruddin
Pakar Hukum Unair Komentari Permendikbud PPKS (ilustrasi).
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Pakar Hukum Unair Komentari Permendikbud PPKS (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA -- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) baru saja mengeluarkan aturan tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi. Pengesahan aturan yang tertuang dalam Permendikbud nomor 30 tahun 2021 itu dilatarbelakangi maraknya kasus kekerasan seksual, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang dialami warga kampus.

Meski demikian, aturan tersebut menuai pro dan kontra. Ada dua hal yang menimbulkan polemik, yakni anggapan bahwa Kemendikbudristek tidak berwenang membuat aturan karena tidak adanya aturan yang lebih tinggi mengenai PPKS dan anggapan tentang pelegalan zina.

Menanggapi polemik pertama, pakar hukum Universitas Airlangga (Unair) Hadi Subhan menjelaskan, dalam Pasal 8 ayat (2) UU nomor 12 tahun 2011 tertuliskan suatu lembaga bisa membuat peraturan atas dasar dua hal. Yaitu diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau karena menjalankan urusan yang menjadi kewenangannya.

“Jadi, meskipun UU PKS sendiri masih digodok oleh DPR, namun secara aspek formal Kemendikbudristek sebagai penanggung jawab pendidikan tinggi tetap berwenang membuat peraturan PPKS,” kata Hadi, Jumat (12/11).

Secara substansi, Hadi menilai PPKS sangat baik sebagai preventif dan settlement kepada korban yang mengalami kekerasan seksual. Selain itu, terkait dengan tuduhan melegalkan zina, pihaknya menilai ada kesalahan dalam menafsirkan kata ‘tanpa persetujuan korban’. Menurutnya, persetujuan di dalam kaca mata hukum memiliki makna ‘tanpa hak’. Dengan begitu, Hadi menuturkan tidak ada korelasi antara PPKS dengan anggapan free sex atau zina.

“Tidak bisa diartikan kalau korbannya mau ‘disentuh’ berarti boleh dan itu zina. Konsepnya adalah meskipun saling setuju tetapi tidak memiliki hak secara norma hukum agama, etika, dan hukum, ya tetap saja tidak boleh melakukan,” ujarnya.  

Terkait dengan sanksi yang diberikan pada pelaku kekerasan seksual, dosen yang juga menjabat sebagai Direktur Kewahasiswaan (Dirmawa) Unair itu mengatakan, pihak kampus hanya bisa memberikan hukuman secara administratif. Adapun ketika mau menghukum pelaku secara pidana itu menjadi kewenangan korban untuk melapor pada pihak terkait. Karena hukum pidana sudah menjadi urusan negara.

"Dalam hal ini, kampus hanya bisa melakukan hukuman berupa DO atau hukuman administratif lainnya,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement