Jumat 12 Nov 2021 00:06 WIB

Alasan Majelis Hakim Banding Perberat Hukuman Edhy Prabowo

Banding Edhy ditolak hakim, hukuman penjara malah ditambah jadi 9 tahun.

Terpidana mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo (tengah)  berjalan keluar usai menjalani sidang vonis di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (15/7/2021) . Majelis Hakim memvonis Edhy Prabowo dengan hukuman lima tahun penjara serta denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan.
Foto: ANTARA/RENO ESNIR
Terpidana mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo (tengah) berjalan keluar usai menjalani sidang vonis di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (15/7/2021) . Majelis Hakim memvonis Edhy Prabowo dengan hukuman lima tahun penjara serta denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan.

REPUBLIKA.CO.ID, Hakim banding di Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menambah hukuman bagi mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo menjadi 9 tahun penjara pada putusan banding yang dibacakan pada 21 Oktober 2021. Majelis hakim banding menilai, hukuman pengadilan tingkat pertama sebesar 5 tahun penjara bagi Edhy belum mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat.

"Menimbang, bahwa penjatuhan pidana pokok kepada terdakwa tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat yang seharusnya ditangani secara ekstra dan luar biasa," demikian termuat dalam putusan Edhy Prabowo di laman Mahkamah Agung yang diakses di Jakarta, Kamis (11/11).

Baca Juga

Selain memperberat vonis pidana badan bagi Edhy Prabowo menjadi 9 tahun penjara, Edhy juga tetap dibebankan membayar denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan. Edhy juga diwajibkan membayar uang pengganti sejumlah Rp9.687.457.219 dan 77 ribu dolar AS subsider 3 tahun penjara.

Putusan di tingkat banding itu dijatuhkan pada 21 Oktober 2021 oleh Haryono selaku hakim ketua majelis dan Mohammad Lutfi, Singgih Budi Prakoso, Reny Halida Ilham Malik serta Anton Saragih masing-masing sebagai hakim anggota. Putusan banding itu lebih berat dibanding vonis Pengadilan Tipikor Jakarta yang menjatuhkan vonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subisider 6 bulan kurungan, dan kewajiban membayar uang pengganti sejumlah Rp9.687.457.219 dan 77 ribu dolar AS subsider 3 tahun penjara.

"Terlebih lagi terdakwa adalah seorang menteri yang membawahi Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, telah dengan mudahnya memerintahkan anak buahnya berbuat hal yang menyimpang dan tidak jujur," kata hakim dalam putusan tersebut.

Edhy dinilai telah merusak tatanan kerja yang selama ini ada, berlaku, dan terpelihara dengan baik. "Terdakwa telah menabrak aturan atau tatanan prosedur yang ada di kementeriannya sendiri," ujar hakim.

Sejumlah hal lain yang memberatkan menurut hakim banding adalah tipikor digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Hal itu sebagai konsekuensi Indonesia meratifikasi konvensi antikorupsi dengan UU No 7 Tahun 2006 artinya korupsi yang hanya diperangi dan menjadi musuh bangsa Indonesia, tetapi juga menjadi musuh seluruh umat manusia.

Selain itu, hakim banding juga menilai tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan keuangan dan perekonomian negara. Tetapi, dapat juga meruntuhkan sendi-sendi kedaulatan negara karena sebagai seorang menteri yang merupakan pembantu presiden, sudah seharusnya memahami ketentuan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

"Kekayaan alam tidaklah bisa dengan mudahnya dapat dieksploitasi untuk kepentingan orang," kata hakim.

 

 

Terhadap vonis PT DKI Jakarta tersebut, KPK menyatakan sepenuh menjadi kewenangan majelis hakim. "Kami melihat putusan banding yang memperberat hukuman terdakwa, artinya majelis hakim punya keyakinan dan pandangan yang sama dengan tim jaksa KPK bahwa terdakwa secara meyakinkan terbukti bersalah menerima suap dalam pengurusan izin budi daya lobster dan ekspor benur," kata Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri.

KPK juga mengapresiasi putusan pidana uang pengganti senilai Rp9,6 miliar dan 77 ribu dolar AS. Menurut Ali, vonis terkait uang pengganti penting sebagai bagian dari upaya pemulihan aset (asset recovery).

"Yang menyokong penerimaan negara melalui upaya pemberantasan korupsi," ujar Ali.

Menurut Ali, dalam perkara ini pihak yang mengajukan upaya hukum banding adalah Edhy Prabowo, bukan KPK. "Saat ini KPK tentu menunggu sikap dari terdakwa atas putusan tersebut. Dalam prosesnya KPK telah menyiapkan memori kontra bandingnya," kata Ali pula.

Baca juga : Guru Honorer, Gaji Rp.250 Ribu Dirapel per Tiga Bulan

Di pengadilan tingkat pertama, JPU KPK memang "hanya" menuntut Edhy Prabowo untuk divonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan. Oleh jaksa, Edhy dinilai terbukti menerima suap senilai 77 ribu dolar AS dan Rp24.625.587.250 dari pengusaha terkait ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur.

Pada Juli 2021, penasihat hukum Edhy Prabowo, Soesilo Aribowo menyatakan alasan kliennya mengajukan banding. "Alasan pengajuan banding adalah karena pasal yang diputuskan tidak tepat," kata Soesilo saat itu. Menurut Soesilo, Edhy Prabowo lebih tepat dikenakan Pasal 11 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPJo. pasal 65 ayat 1 KUHP.

 

photo
Pengadilan Tipikor telah menjatuhkan vonis untuk Edhy Prabowo dan lima orang terdakwa kasus suap izin ekspor benih lobster. - (Republika)

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement