Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yuviniar Ekawati

Saat Ruang Publik menjadi Eksklusif karena Persoalan Bahasa

Eduaksi | Tuesday, 09 Nov 2021, 20:11 WIB

Sudah umum kita jumpai instruksi atau petunjuk di ruang publik yang mengggunakan bahasa asing khususnya Bahasa Inggris. Kata yang paling sering kita temui adalah “in” pada pintu masuk dan “out” pada pintu keluar. Berjalan sedikit, kita juga dapat melihat rambu-rambu yang bertuliskan “caution: wet floor” yang memberi kita peringatan agar berjalan dengan hati-hati sehingga tidak terpeleset.

Saat kita menengok ke depan, belakang, samping kanan-kiri kita bisa melihat petunjuk di ruang publik menggunakan bahasa asing. Untunglah bagi saya yang dengan cepat dapat mengenali petunjuk itu. Dengan mudahnya saya mengerti arti dari kata-kata yang ada pada petunjuk itu. Tetapi, apakah semua orang mengalami kemudahan yang saya miliki?

Saya baru merasa terganggu dengan kenyataan bahwa tidak semua orang memiliki kemudahan yang saya miliki sejak saya bertemu seorang nenek dari yang berasal dari luar daerah perkotaan yang kesulitan menggunakan wastafel karena instruksinya menggunakan Bahasa Inggris di sebuah rumah sakit.

Berangkat dari pengalaman saya, izinkan saya memulainya dengan menceritakan kisah ini. Saya menemani nenek saya yang dirawat di rumah sakit selama tiga bulan beberapa tahun lalu. Rumah sakit itu merupakan rumah sakit besar di provinsi itu sehingga banyak sekali pasien rujukan dari luar daerah perkotaan.

Saat melewati lorong, saya bisa mendengar orang-orang berbicara menggunakan bahasa daerahnya. Tidak sedikit juga orang tua yang kesulitan menggunakan Bahasa Indonesia karena tidak terbiasa menggunakannya. Jika Bahasa Indonesia saja yang secara umum digunakan beberapa orang masih kesulitan, bagaimana dengan bahasa asing?

Berkali-kali saya membantu nenek-nenek yang kesulitan membuka pintu karena petunjuk pintu itu menggunakan Bahasa Inggris bertuliskan “pushed.” Bahkan, ada bapak-bapak yang terpeleset karena tidak memerhatikan dengan seksama tanda peringatan lantai licin yang ditulis dengan Bahasa Inggris. Mungkin, dia tidak memerhatikan tanda tersebut karena merasa asing. Jelas sudah bahwa hal ini bahkan dapat membahayakan nyawa seseorang.

Menurut saya jika instruksi yang berada di ruang publik—seperti yang saya contohkan di rumah sakit menggunakan bahasa asing—tidak secara luas dipahami sehingga tidak diperhatikan dengan seksama. Instruksi yang harusnya bisa menjembatani manusia untuk memahami kondisi jadi gagal tercapai. Lantas, untuk apa instruksi-instruksi itu dipasang?

Pertimbangan penggunaan bahasa tertentu di ruang publik seharusnya menjadi pertimbangan yang matang. Refleksi akan hal itu seharusnya dilakukan karena ruang publik milik masyarakat luas, bukan milik beberapa orang. Jika ruang itu hanya milik beberapa orang saja, bukankah itu dinamakan ruang privat?

Saat kita berjalan-jalan ke perumahan elit, mall yang elit, atau “kota” baru yang elit, kita bisa lihat banyak sekali instruksi yang menggunakan Bahasa Inggris. Tak mengherankan karena karakteristik dari tempat itu sebenarnya eksklusif sehingga dapat dipertanyakan kembali statusnya sebagai ruang publik. Ruang publik bagi publik yang mana?

Tetapi jika instruksi di tempat banyak orang dari berbagai latar belakang berlalu lalang menggunakan bahasa asing yang tidak dipahami secara luas, bisa dikatakan bahwa instruksi itu hanyalah sebuah hiasan untuk kepentingan estetika belaka. Toh, masyarakatnya juga merasa asing dengan instruksi-instruksi tersebut. Bisa-bisa masyarakat tidak merasa menjadi bagian dari ruang publik itu.

Di kondisi begitu, masyarakat perlu untuk menggugat ruang publik kembali kepada milik publik yang inklusif. Masyarakat bisa menggugat ruang publik dengan bahasa, baik dengan Bahasa Indonesia maupun daerah.

Kita bisa mengidentifikasi keberpihakan tempat dari instrumen-instrumen yang melengkapi tempat tersebut; kita bisa mengidentifikasi kelas sosial pada lokasi tersebut dengan melihat label atau instruksi yang terpasang di sana; kita bisa mengidentifikasi apakah ruang tersebut merupakan ruang publik yang utuh—atau apakah ruang tersebut merupakan ruang yang eksklusif—dari penggunaan bahasa di sekitarnya.

Masyarakat Selalu Memiliki Caranya Sendiri

Dengan banyaknya bahasa asing di ruang publik, masyarakat selalu menemukan cara untuk dapat mengembalikan sesuatu kepada miliknya. Seperti kata charger, print, photocopy, scan dan lainnya. Banyak kata di Indonesia yang juga merupakan bahasa asing dan dimodifikasi bahkan secara nyeleneh menjadi bahasa daerah atau bahasa Indonesia.

Di toko-toko dekat rumah saya, saya bisa melihat tulisan carjer, fotokopi, prin, nyekken. Hebatnya, kita bisa tahu maksud dari para penjual. Saya yakin kita semua setidaknya sekali pernah menemukan kata-kata tersebut, sadar atau tidak sadar.

Foto: Meme di Internet

Saat saya bersekolah di Bandung, guru saya mengatakan bahwa kata degan atau dawegan yang artinya kelapa sebenarnya lahir dari hal yang nyeleneh. Guru saya mengatakan, konon saat itu ada serdadu Inggris dan Belanda yang ingin mengambil kelapa namun tidak ada yang bisa memanjatnya sehingga keluarlah kata “The Gun!” untuk memakai pistol atau bedil untuk mengambilnya. Disinyalir sejak saat itu kata kelapa disebut degan atau dawegan, entah benar atau tidak cerita ini terus direproduksi oleh banyak orang di Tanah Sunda. Tetapi jika hal ini benar, artinya bahwa masyarakat selalu menemukan caranya sendiri dalam berkomunikasi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image