Selasa 09 Nov 2021 22:11 WIB

Kebijakan Perdagangan Terbuka Kunci Pemulihan Ekonomi

Pembatasan impor tak hanya rugikan negara eksportir tapi juga hambat investasi.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Aktivitas Pelabuhan Peti Kemas terlihat dari Center Point of Indonesia, Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (8/11). Kebijakan perdagangan terbuka dan minim hambatan non-tarif dibutuhkan untuk memulihkan perekonomian Indonesia.
Foto: Antara/Abriawan Abhe
Aktivitas Pelabuhan Peti Kemas terlihat dari Center Point of Indonesia, Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (8/11). Kebijakan perdagangan terbuka dan minim hambatan non-tarif dibutuhkan untuk memulihkan perekonomian Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan perdagangan terbuka dan minim hambatan non-tarif dibutuhkan untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Untuk mendukung hal tersebut, Indonesia harus menunjukkan komitmen dan keseriusannya dalam menaati perjanjian dagang internasional, salah satunya melalui penghapusan hambatan non-tarif dan juga menghilangkan restriksi (pembatasan) pada perdagangan internasional.

“Wacana pembatasan impor perlu pertimbangan mendalam. Di satu sisi, pembatasan impor dilakukan terkait adanya kekhawatiran soal defisit neraca perdagangan. Di sisi lain, rencana pembatasan impor jangan sampai menjadi bumerang untuk pemerintah. Salah satu dampak yang berpotensi terjadi akibat pembatasan impor adalah menurunnya kualitas produk Indonesia,” jelas peneliti CIPS, Arumdriya, Selasa (9/11).

Ia menuturkan, proteksi dan hambatan non-tarif yang diterapkan dalam kebijakan perdagangan ini tecermin dalam peringkat Indonesia di International Trade Barrier Index yang diterbitkan Property Rights Alliance. Indonesia berada di posisi 80 dari 90 negara pada International Trade Barrier Index 2021, tertinggal jauh dari negara tetangga, seperti Singapura di posisi pertama dan Malaysia serta Vietnam di posisi 53 dan 65.

Pada indeks serupa yang dikeluarkan pada 2019, Indonesia di posisi 72 dari 86 negara. Penurunan peringkat ini mencerminkan peningkatan pada hambatan perdagangan.

Kebijakan seperti ini, lanjutnya, tidak akan berdampak positif dalam jangka panjang karena Indonesia masih sangat bergantung pada impor untuk berbagai bahan baku. Penerapan langkah-langkah non-tarif di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah menyebabkan kenaikan biaya produksi dan dengan demikian mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar internasional.

Birokrasi yang berbelit dan memakan waktu, pembatasan kuota dan perizinan, penentuan waktu impor dan hambatan non tarif lainnya akan berdampak negatif pada investasi dan nilai ekspor dan pada gilirannya dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia secara agregat.

“Saat ini, banyak produk Indonesia membutuhkan bahan baku yang tidak dapat disediakan oleh dalam negeri sehingga butuh melewati impor. Pembatasan terhadap impor yang berlebihan tidak hanya akan berdampak pada kerugian yang dirasakan oleh negara eksportir, tetapi dapat menghambat pertumbuhan investasi di dalam negeri. Belum lagi produk Indonesia yang diekspor akan mengalami penurunan nilai,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Arumdriya menambahkan dalam kaitannya dengan ketahanan pangan, penerapan hambatan nontarif berdampak pada harga komoditas pokok, misalnya saja beras, yang akan mengurangi keterjangkauan dan memengaruhi asupan gizi dan kalori, terutama pada masyarakat berpenghasilan rendah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement