Selasa 09 Nov 2021 20:29 WIB

Dataran Tinggi Itu tak Luput dari Banjir Bndang

Rusaknya ekosistem di Batu meningkatkan potensi perubahan iklim.

Pengungsi terdampak banjir bandang Kota Batu beristirahat di tempat pengungsian di Brawijaya Edupark, Kota Malang, Jawa Timur, Jumat (5/11/2021). Ratusan warga Kota Malang terpaksa mengungsi akibat banjir bandang yang melanda wilayah Kota Batu.
Foto: Antara/Zabur Karuru
Pengungsi terdampak banjir bandang Kota Batu beristirahat di tempat pengungsian di Brawijaya Edupark, Kota Malang, Jawa Timur, Jumat (5/11/2021). Ratusan warga Kota Malang terpaksa mengungsi akibat banjir bandang yang melanda wilayah Kota Batu.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Musim hujan hingga beberapa bulan ke depan dengan curah (intensitas) yang sangat tinggi memaksa setiap pribadi untuk memasang kewaspadaan tinggi, apalagi yang berada di wilayah rawan bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan tanah longsor. Bencana apapun, termasuk banjir ternyata tak pernah pilih-pilih wilayah, tak terkecuali wilayah yang berada di dataran tinggi seperti Kota Batu, Jawa Timur, yang berada di ketinggian 700-2000 meter atau rata-rata 871 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Siapa mengira, Kota Batu dengan luas 136,74 kilometer persegi dan berada di dataran tinggi itu sebagian wilayahnya luluh lantak karena terjangan banjir bandang akibat hujan dengan intensitas ekstrem pada Kamis (4/11) lalu. Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim, kota berpenduduk kurang dari 215 ribu jiwa itu diguyur hujan deras selama sekitar tiga jam dan mengakibatkan meluapnya Sungai Brantas di sisi Gunung Biru, yang dari tahun ke tahun semakin rawan.

Baca Juga

Sebelumnya, Kota Batu juga beberapa kali dilanda banjir. Namun, banjir yang terjadi Kamis pekan lalu adalah yang paling parah keadaannya.

Curah hujan di Kota Batu pada 2018-2019, berdasarkan catatan BMKG menunjukkan anomali curah hujan, terutama dalam bulan November-Desember. Jumlah hujan pada November 2018 mencapai 211.70 mm kubik dan Desember 149.90 mm kubik. Pada 2019, curah hujan di bulan November mencapai 51,7 mm kubik dan Desember 232,5 kubik. 

Artinya, ada semacam naik turun curah hujan yang signifikan. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa naik turunnya hujan yang tidak konsisten adalah bagian dari anomali cuaca sebagai dampak turunan perubahan iklim. Anomali cuaca terkadang panas berkepanjangan, tetapi tiba-tiba hujan deras, merupakan bahaya hidrometeorologi yang risikonya setiap tahun meningkat akibat dari perubahan iklim yang semakin masif.

photo
Seorang warga mengamati rumahnya yang rusak akibat banjir bandang di Bulukerto, Kota Batu, Jawa Timur, Jumat (5/11/2021). Berdasarkan laporan sementara dari BPBD Kota Batu hingga hari kedua pencarian korban banjir bandang, tim SAR berhasil menemukan enam jenazah korban dan tiga korban masih dalam proses pencarian. - ( ANTARA/Zabur Karuru)

Kota Batu merupakan wilayah yang sangat terpengaruh perubahan iklim. Suhu di Kota Batu rata-rata kini 22,6-23 derajat celcius jika dibandingkan dengan lima tahun lalu sekitar 21-22,3 derajat celcius.

Jika dilihat dari citra satelit, ruang terbuka hijau (RTH) Kota Batu belum sampai 30 persen, masih sekitar 12-15 persen. Merujuk data citra satelit tersebut, pada konteks hutan yang juga merujuk citra satelit dari Global Forest Watch pada 2001 hingga 2020, Kota Batu kehilangan 348 hektare tutupan pohon, yang setara dengan 256kt emisi CO2e.

Pada tahun 2013-2020, 94 persen kehilangan tutupan pohon di Kota Batu terjadi di dalam hutan alam. Total kehilangan di dalam hutan alam setara dengan 67,0kt emisi CO2e. Sepanjang tahun 2002-2020, Batu kehilangan 113 hektare hutan primer. Dari data yang dihimpun terkait eksistensi keberadaan lahan hijau, dari luas 6.034,62 hektare di 2012 menjadi 5.279,15 hektare di tahun 2019.

Hujan deras dengan intensitas ekstrem yang mengguyur wilayah Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang, Kota Batu) sekitar tiga jam pada Kamis (4/11), meluluhlantakkan sebagian wilayah di Kota Batu dan Kota Malang. Dari analisis yang dilakukan Walhi Jatim, daerah hulu (Kota Batu) tak mampu menghambat laju derasnya guyuran hujan, air hujan tak terserap dengan baik, bahkan meluncur deras ke daerah yang lebih rendah.

Menurut aktivis Walhi Jatim Purnawan Dwikora Negara, sekitar 150 hektare kawasan hutan yang menjadi hulu dari sungai yang diterjang banjir ini dibuka untuk ladang dan pertanian. Bahaya hidrometeorologi ini adalah tingkat kerentanan dan kerawanan bencana yang mungkin terjadi karena faktor iklim. Hal ini juga dapat bertambah rentan dengan rusaknya ekosistem di kawasan itu.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement