Senin 08 Nov 2021 15:49 WIB

Telah Lahir UU Terburuk dan Terjahat Dalam Sejarah Indonesia

Masyarakat harus mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terhadap UU ini

Pelayan warung menyiapkan lauk pauk di sebuah warung Tegal (warteg) di Jakarta, Sabtu (6/11/2021). Pemerintah membebaskan pajak penghasilan (PPh) untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) perseorangan dengan penghasilan di bawah Rp500 juta per tahun seperti warteg, menyusul disahkannya UU nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Foto: Antara/Galih Pradipta
Pelayan warung menyiapkan lauk pauk di sebuah warung Tegal (warteg) di Jakarta, Sabtu (6/11/2021). Pemerintah membebaskan pajak penghasilan (PPh) untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) perseorangan dengan penghasilan di bawah Rp500 juta per tahun seperti warteg, menyusul disahkannya UU nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fuad Bawazier, Pengamat Ekonomi/mantan Dirjen Pajak/ mantan Menteri Keuangan

Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang ditandatangani Presiden JOKOWI 29 Oktober 2021 merupakan UU terburuk dan terjahat dalam sejarah perundang undangan, khususnya dibidang keuangan negara. UU HPP meliputi enam topik yaitu Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Program Pengungkapan Sukarela (Tax Amnesty Jilid 2), Pajak Karbon, dan Cukai. 

Dikatakan terburuk dan terjahat karena di dalam UU HPP ini memuat 2 (dua) hal sbb:

Pertama, karena dalam Bab PPN memuat Pasal 16B yang intinya memberikan kewenangan penuh kepada Pemerintah tentang apa yang akan dikenai/dipungut atau apa yang tidak dikenai/ dibebaskan PPN, untuk sementara atau selamanya, dan dengan tarif PPN yang juga tergantung atau terserah Pemerintah. Cek kosong alias kewenangan yang diberikan UU HPP kepada Pemerintah ini praktis meliputi semua objek PPN termasuk sembako, pendidikan, dan kesehatan, tambang dsb. Dengan adanya Pasal 16B ini pada hakekatnya seluruh kewenangan dan pengaturan UU PPN telah dilimpahkan kepada Pemerintah. 

Sudah dapat di tebak pada tahap awal Pemerintah akan menggunakan kewenangan dari Pasal 16B dengan membebaskan / tidak memungut PPN atas sembako, jasa pendidikan dan jasa pelayanan kesehatan, sehingga terkesan Pemerintah pro rakyat dan bak pahlawan. Padahal objek objek PPN ini sedari dulu juga sudah bebas. Tapi Pemerintah juga bisa berbuat yang sebaliknya. 

Jadi UU pajak ini (PPN) tidak lagi memberikan kepastian hukum. Semuanya tergantung pada kebijakan atau maunya Pemerintah saja. 

Potensi penerimaan negara dari PPN sekitar Rp1000 triliun. Dengan demikian sejumlah itulah potensi yang bisa “diperjual-belikan atau dinegosiasikan” antara penguasa dengan WP (Wajib Pajak). Siapa yang kuat tawar menawar atau lobinya akan diuntungkan. Sudah dapat di perkirakan bahwa Pasal 16B akan jadi ajang pasar korupsi atau power abuse. Mengandung moral hazard yang begitu kuat.  

Saya juga heran pada Pemerintah yang tega teganya nyodorin Pasal 16B alias cek kosong kepada DPR. Tapi lebih heran lagi pada DPR yang mau maunya menyetujui Pasal 16B. Pengusaha besar tentu was was dan siap siap bernegosiasi, sementara WP kecil tinggal terima nasib. UU yang tidak memberikan kepastian hukum seperti ini, cepat atau lambat akan dijauhi pebisnis yang baik. Tetapi sebaliknya akan mengundang politisi dan birokrat nakal mencari “rezeki” dan menjadi calo pembebasan/ pengurangan PPN.

Masyarakat dan WP pada khususnya tidak dapat berharap keadilan pada UU yang seperti ini, dan sulit pula diharapkan mampu menaikkan tax ratio. Menyedihkan !

 

.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement