Rabu 03 Nov 2021 09:03 WIB

Suara 'Aisyiyah dan Konsistensi pada Jihad Literasi

Ada tujuh jihad literasi Suara 'Aisyiyah dari masa ke masa.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Fernan Rahadi
Majalah Suara
Foto: Suara 'Aisyiyah
Majalah Suara

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sejak terbit pada Oktober 1926 lalu, berbagai jihad literasi terus dilaksanakan Suara 'Aisyiyah sebagai bagian dari dakwah untuk membangun perempuan berkemajuan. Kini, setelah 95 tahun usianya, Suara 'Aisyiyah terus menggaungkan serta meneguhkan literasi bagi perempuan.

Dewan Redaksi Suara 'Aisyiyah, Adib Sofia mengatakan, ada tujuh jihad literasi Suara 'Aisyiyah dari masa ke masa. Pertama, jihad literasi aksara sebagai perjuangan awal Suara 'Aisyiyah. Ia menjelaskan, pada 1926 masih banyak masyarakat Indonesia yang belum mengenyam pendidikan, terutama perempuan. 

Bahkan, saat itu masyarakat Indonesia juga banyak yang buta dengan huruf latin dan tidak mengerti sama sekali dengan aksara. "Masih banyak yang pakai bahasa daerah masing-masing, kemudian pakai aksara Arab atau Pekon," kata Sofia yang dihubungi, Senin (1/11).

Pada awal terbitnya Suara  'Aisyi­yah, masih menggunakan Bahasa Jawa. Walaupun begitu, Suara 'Aisyiyah telah menggunakan aksara Latin. Kemudian masuk pada 1930-an, Suara 'Aisyiyah mulai menggunakan Bahasa Indonesia. Pada masa ini, Suara 'Aisyiyah masuk ke jihad literasi kedua yang disebut dengan jihad literasi derajat perempuan. Sua­ra 'Aisyiyah pun mulai banyak membahas tentang derajat perempuan yang tidak berbeda dengan laki-laki.

 

Lalu jihad berikut­nya,  Suara 'Ais­yiyah mulai menanamkan lite­rasi cinta ilmu dan cinta Tanah Air. Jihad ini tepatnya pada masa sebelum kemerdekaan yakni pada tahun 1940-an. Menurut Sofia, jihad yang dilakukan pada masa itu lebih ba­yak mengupas persoalan pentingnya perempuan untuk menuntut ilmu dan berkontribusi pada Tanah Air. Sehingga, perem­puan juga didorong untuk dapat berkontribusi dalam kemerdekaan Indonesia.

Masuk pada masa setelah kemerdekaan yakni pada tahun 1950-an, Sua­ra 'Aisyiyah banyak membahas tentang perempuan berkemajuan dalam identitas keislaman dan keindonesiaan. Dalam masa ini, Suara 'Ais­yiyah melakukan jihad literasi identitas keislaman dan keindonesiaan sebagai jihad keempat.

Baca juga : Ikadi dan 12 Ormas Tolak Permendikbud Kekerasan Seksual

Pada jihad literasi keempat ini, Suara 'Aisyiyah banyak menyoroti terkait culture shock yang terjadi di Indonesia usai kemerdekaan. Pasalnya, saat itu bangsa Indonesia mulai kehilangan ciri khasnya dengan gaya hidup kebarat-baratan dan jauh dari keislaman dan keindonesiaan.

Berpikir kritis

Selanjutnya, Suara 'Aisyi­yah mulai memasuki konten dengan fokus pada jihad kelima yakni jihad literasi berpikir kritis pada 1960-an. Tampil dengan sangat ilmiah, kata Sofia, artikel-artikelnya dikupas dengan mendalam dan detail yang didukung perspektif ilmu pengetahuan.

Pada masa ini, tulisan-tulisan yang banyak dikeluarkan Suara 'Aisyiyah berasal dari pakar-pakar Muhammadiyah dan 'Aisyiyah. Bahkan, pakar lain dari luar persyarikatan Muhammadiyah juga banyak yang menyumbangkan pemikirannya, mulai dari Siti Baroroh, Amien Rais, Abdul Hadi WM, Rachmat Djoko Pradopo, Ismadi, Dawiesah, Baried, dan Tudjimah.

Keenam, Sua­ra 'Aisyiyah melakukan jihad literasi responsif terhadap problematika zaman pada masa 1980-an hingga 2000-an. Menurut Sofia, hampir semua hal yang dituliskan dalam tiga dekade ini menunjukkan adanya kecerdasan 'Aisyiyah dalam membaca problematika zaman dan responsif menghadapi masalah tersebut.

Jihad literasi terakhir yang hingga saat ini masih terus diperjuangkan Suara 'Aisyiyah yakni literasi cer­das digital. Jihad ini berawal dari pesatnya perkembangan teknologi informasi. 

Melihat hal terse­but, Suara 'Aisyiyah mulai memunculkan artikel-artikel terkait dengan perkembangan tenologi dan mengikuti perkembangan zaman. Hal ini juga membuat Suara 'Ais­yi­yah mulai merambah versi digital, tidak hanya versi cetak. "Suara 'Aisyiyah menjelma menjadi aplikasi, website, dan medsos dalam rangka literasi cerdas," katanya.

Sekretaris PP 'Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah mengatakan, saat ini versi digital Suara 'Aisyiyah baru dapat diakses dalam bentuk website. Namun, pada Desember 2021 nanti direncanakan akan ada versi digital dari majalah Suara 'Aisyiyah.

Perlunya Suara 'Aisyiyah merambah versi digital menurut Tri dikarenakan kebutuhan masyarakat yang saat ini sudah semakin beragam. Terlebih, kebutuhan akan teknologi sudah tidak dapat dihindari dari aktivitas-aktivitas masyarakat.

Baca juga : Ini Solusi Jokowi di KTT G20 untuk Atasi Perubahan Iklim

"Membuat Suara 'Aisyiyah dalam bentuk digital karena memang untuk menjembatani kebutuhan itu. Ini majalah organisasi yang banyak membawa misi organisasi, walaupun masyarakat luas juga membaca, sehingga penting (merambah versi digital) selain ada hard copy karena tidak semua orang mudah membaca digital, maka kita mix dengan versi digital," jelasnya.

Dengan begitu, dakwah yang dibawa oleh Suara 'Aisyiyah sendiri tetap berlanjut, utamanya dalam rangka memajukan kaum perempuan. Pasalnya, saat ini masih banyak persoalan menyangkut perem­puan yang masih terus terjadi di Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement