Selasa 02 Nov 2021 23:50 WIB

MOI Tolak Permendikbudistek Soal Kekerasan Seksual di Kampus

Permendikbudistek Nomor 30 Tahun 2021 dinilai legalkan perzinaan

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Nashih Nashrullah
Permendikbudistek Nomor 30 Tahun 2021 dinilai legalkan perzinaan. Ilustras seks bebas
Foto: ant
Permendikbudistek Nomor 30 Tahun 2021 dinilai legalkan perzinaan. Ilustras seks bebas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Islam yang tergabung dalam Mejelis Ormas Islam (MOI) yang beranggotakan 13 Ormas Islam Indonesia menyatakan penolakan terhadap keluarnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia (Permendikbudistek RI) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, tanggal 28 September 2021. 

"MOI menilai bahwa Permendikbudristek tersebut secara tidak langsung telah melegalisasikan perzinaan dan dengan demikian akan mengubah dan merusak standar nilai moral mahasiswa di kampus, yang semestinya perzinaan itu kejahatan malah kemudian dibiarkan," tulis pernyataan MOI yang ditandatangani Ketua MOI KH Nazar Haris, Senin (1/10). 

Baca Juga

Menurut MOI, Permendikbud ini telah menimbulkan keresahan di kalangan umat Islam pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Menurut MOI banyak poin dalam Permendikbud yang bermasalah dan dapat menjadi polemik di tengah masyarakat dalam pelaksanaannya kedepan. 

Nazar mengatakan bahwa Permendikbud ini mengadopsi draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang telah ditolak masyarakat luas di DPR periode 2014-2019.  

"Poin yang dikritisi dan ditolak MOI antara lain terkait paradigma seks bebas berbasis persetujuan (sexual-consent) yang memandang bahwa standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual bukan nilai agama, melainkan persetujuan dari para pihak, selama tidak ada pemaksaan, telah berusia dewasa, dan ada persetujuan, maka aktifitas seksual menjadi halal, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah,"ujar Haris. 

Permendikubud ini juga berpotensi memfasilitasi perbuatan zina dan perilaku penyimpangan seksual LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). LGBT adalah penyakit mental dan penderitanya adalah pasien yang harus dibantu kesembuhannya melalui lembaga konseling yang difasilitasi negara.  

Selain itu penggunaan definisi relasi kuasa dan relasi gender dalam Permendikbud tersebut tidak diambil dari Pancasila, melainkan dari konstruksi berpikir barat yang bertentangan dengan fitrah penciptaan manusia. 

Tuhan telah menciptakan jenis kelamin (seks), adapun gender adalah orientasi seksual yang boleh berbeda dari jenis kelamin, maka konsep gender yang diterima luas di Barat, tidak kompatibel dengan moralitas ketimuran di Indonesia.  

Menyikapi hal itu maka Majelis Ormas Islam (MOI) yang beranggotakan 13 Ormas Islam yaitu Persatuan Umat Islam (PUI), Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), Syarikat islam (SI), Mathla’ul Anwar, Al Ittihadiyah, Al Washliyah, Persatuan Islam (PERSIS), Wahdah Islamiyah, Al Irsyad Al Islamiyah, Hidayatullah, Ikatan Dai Indonesia (IKADI), Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI) dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) meminta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi untuk mencabut dan membatalkan Peraturan Menteri No.30 tahun 2021 tentang Pencegahan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi tersebut.  

MOI meminta Permen tersebut digantikan dengan aturan baru yang sejalan dengan jiwa dan nilai-nilai Pancasila. Selain itu dalam pembahasannya juga harus melibatkan organisasi keagamaan yang menjadi stakeholder dalam pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia, agar setiap peraturan yang keluar dapat berlaku efektif karena telah sesuai dengan norma-norma masyarakat Indonesia yang ber-Pancasila.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement