Selasa 02 Nov 2021 13:48 WIB

Di Balik Isu Bisnis PCR

Benarkah asumsi banyak pembesar yang memanfaatkan bisnis PCR untuk cari untung?

Petugas kesehatan mengambil sampel untuk tes usap RT Polymerase Chain Reaction (PCR) di Skybridge, Bandara SMB II, Palembang, Sumatera Selatan, Senin (1/11/2021). Untuk meringankan beban masyarakat yang hendak berpergian dan mendorong sektor perekonomian, per 27 Oktober lalu pemerintah secara resmi menetapkan tarif PCR tertinggi di Pulau Jawa-Bali sebesar Rp275 ribu dan Rp300 ribu untuk luar Pulau Jawa - Bali.
Foto: ANTARA/Feny Selly
Petugas kesehatan mengambil sampel untuk tes usap RT Polymerase Chain Reaction (PCR) di Skybridge, Bandara SMB II, Palembang, Sumatera Selatan, Senin (1/11/2021). Untuk meringankan beban masyarakat yang hendak berpergian dan mendorong sektor perekonomian, per 27 Oktober lalu pemerintah secara resmi menetapkan tarif PCR tertinggi di Pulau Jawa-Bali sebesar Rp275 ribu dan Rp300 ribu untuk luar Pulau Jawa - Bali.

Oleh : Abdullah Sammy, Wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, 

Oleh: Abdullah Sammy, Wartawan Republika

Pekan ini ruang publik diwarnai perbincangan seputar bisnis PCR. Tudingan dialamatkan sejumlah nama tokoh dan pengusaha besar yang disebut-sebut ikut berbisnis. Bahkan nama Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan diseret-seret. 

Sebelum lebih jauh membahas isu itu, saya memandang bahwa munculnya isu membuktikan bahwa ruang untuk bebas berpendapat tetap terjamin. Semua pihak bisa mengemukakan gagasan dan pikirannya di ruang publik. Itu jelas menjadi sinyal sehatnya demokrasi di negeri ini. 

Gagasan, pandangan, dan asumsi terkadang memberi pencerahan. Namun tak jarang juga gagasan atau asumsi justru mengaburkan fakta yang sesungguhnya. Saya ingin mengambil kisah enam orang buta dan seekor gajah sebagai analogi. 

Alkisah, enam orang yang tak bisa melihat memiliki perbedaan asumsi soal gajah. Semua pandangan berlandaskan sudut anatomi gajah yang mereka sentuh.  

Pria yang memegang gading menilai gajah memiliki struktur tajam menyerupai tombak. Yang memegang bagian kaki mendeskripsikan gajah sama dengan sapi versi raksasa. 

Pria yang memegang kuping menilai gajah lebar layaknya karpet terbang. Sedangkan yang memegang buntut menilai gajah seperti akar tanaman gantung. Yang memegang belalai menilai gajah menyerupai ular. Sedangkan yang memegang badan, menilai gajah seperti tembok keras.  

Beragam asumsi muncul akibat sudut pandang yang terbatas dalam mencerna objek. Perspektif yang saling bertolak belakang itu akan memberi jawaban jika disatukan. Namun asumsi itu mengaburkan fakta jika dilihat secara terpisah-pisah.  

Baca juga : Pencabutan Syarat PCR & Tugas Berat Menko PMK di Akhir Tahun

Kisah gajah dan orang buta memberi pesan moral bahwa berpatokan pada asumsi sempit tak akan menghasilkan jawaban, melainkan cenderung mengaburkan kebenaran. Sebaliknya, berpikir dengan perspektif luas akan memberi gambaran utuh tentang persoalan. 

Meminjam istilah Pariser dalam Dostilio dan Welch (2019), "to be a good citizen, it's important to be able to put yourself in other people's shoes and see the big picture". Intinya, kita mesti menempatkan diri pada segala sisi agar bisa melihat gambar besar (big picture) dari fenomena. 

Berangkat dari analogi itu, saya ingin mengaitkannya dengan munculnya asumsi sejumlah pihak terkait bisnis PCR. Isu ini jelas sensitif ketika dimainkan. Apalagi jika dibumbui narasi soal tokoh, pengusaha, dan pembesar yang ikut bermain di dalamnya. Narasi dengan kombinasi provokasi yang nyaris sempurna. Karena di saat bersamaan dengan keberatan masyarakat soal kewajiban tes PCR, muncul nama pejabat atau pengusaha besar yang dituding bermain di balik itu. Ibarat bensin yang tersulit api, banyak pihak yang langsung terbakar asumsi ini. 

Namun benarkah asumsi yang terbangun bahwa banyak pembesar yang memanfaatkan bisnis PCR untuk mencari untung? Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita merujuk sejumlah fakta. 

Perusahaan yang kerap dikaitkan dengan pembesar negeri adalah PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI). Perusahaan ini adalah ventura sosial yang didirikan oleh gabungan perusahaan besar di Indonesia pada awal 2020, atau beberapa bulan setelah Covid menjadi pandemi di dunia. Hampir seluruh yayasan atau dana CSR dari perusahaan besar mengalir ke perusahaan ini. Dengan jaringan yang dimiliki sejumlah perusahaan besar itu, praktis GSI mampu secara cepat menyuplai ketersediaan alat tes Covid yang saat itu masih sangat sulit didapat. Tak hanya di dalam negeri, GSI juga mampu menjalin kerja sama dengan lembaga internasional seperti Temasek Foundation International.    

Berkat kolaborasi sejumlah perusahaan dalam wadah GSI itu, laboratorium tes Covid terbesar dapat dibangun dengan waktu pengerjaan hanya enam pekan. Laboratorium yang ada di Cilandak itu jadi salah satu fasilitas krusial dalam mendeteksi pandemi Covid kala pertama kali masuk ke Jakarta. 

Jadi bisa dibilang GSI menjadi salah satu pionir yang telah terlibat menangani Covid saat pandemi ini baru melanda. Perusahaan ini bergerak saat kondisi persediaan, akses, dan pengetahuan soal Covid masih sangat terbatas. Di sisi lain, perusahaan ini mampu mengakumulasi bantuan dana dari masing-masing perusahaan besar di Indonesia yang menggelontorkan miliaran hingga triliunan rupiah untuk menangani Covid. 

Baca juga : SBY Didiagnosis Kanker Prostat

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement