Selasa 02 Nov 2021 11:51 WIB

Siti Zuhro: Presidential Threshold Buat Kompetisi tak Sehat

Pengamat menilai presidential threshold buat kompetisi Pilpres tak berlangsung adil

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bayu Hermawan
Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, menyindir rencana penerapan Presidential Threshold (PT) dalam perhelatan Pilpres 2024. Ia menyebut PT hanya membuat kompetisi Pilpres 2024 tak berlangsung adil karena paslon yang muncul kemungkinan besar hanya nama lama.

"PT Pilpres membuat kompetisi tidak sehat karena paslon yang muncul sangat terbatas, 2 paslon saja," kata Prof Zuhro kepada Republika.co.id, Selasa (2/11).

Baca Juga

Prof Zuhro mengingatkan dua kali pemilu yang diikuti 2 paslon pada 2014 dan 2019 justru menghasilkan polarisasi dan disharmoni sosial yang mengancam persatuan nasional. PT Pilpres, lanjutnya, membuat fungsi representasi tidak efektif karena paslon yang muncul berasal dari kubu tertentu saja.

"Sistem multi partai banyak dan masyarakat Indonesia yang majemuk tak seharusnya hanya memunculkan dua paslon saja," ujar Prof Zuhro.

Prof Zuhro mendukung bila PT Pilpres dihapuskan agar menambah variasi paslon yang berkompetisi. "Diperlukan beberapa paslon yang bisa merepresentasikan aspirasi dan kepentingan pemilih yang majemuk," lanjut Prof Zuhro.

Prof Zuhro juga menyinggung PT tak dibutuhkan karena sudah ada pemberlakuan Parliamentary threshold atau ambang batas parlemen (PT Pileg). PT Pileg adalah batas minimal perolehan suara partai politik agar bisa masuk parlemen. Ketentuan ini berlaku pertama kali pada Pemilu DPR 2009, lalu berlanjut ke Pemilu DPR 2014, dan Pemilu DPR 2019 dengan besaran berbeda.

"PT Pilpres pada dasarnya tidak diperlukan karena sudah ada PT Pileg," ucap Prof Zuhro. 

Sebelumnya, Ketua DPD AA La Nyalla Mahmud Mattalitti menilai, ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen turut menjadi penyebab maraknya konflik horizontal. Hal itu juga menyebabkan polarisasi di masyarakat.

"Aturan ambang batas membuat pasangan calon yang dihasilkan terbatas. Dari dua kali pemilihan presiden, hanya menghasilkan dua pasang calon. Sehingga dampaknya terjadi polarisasi masyarakat yang cukup tajam,” ujar La Nyalla lewat keterangan tertulisnya, Ahad (31/10).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement