Kamis 28 Oct 2021 21:22 WIB

PT NU Harus Kembangkan Kapasitas Rohani Mahasiswa

PT NU diharap tak melupakan pengembangan rohani mahasiswanya.

Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf saat memberikan sambutan dalam pelantikan Rektor IAINU Tuban, Kamis (28/10).
Foto: Dok Republika
Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf saat memberikan sambutan dalam pelantikan Rektor IAINU Tuban, Kamis (28/10).

REPUBLIKA.CO.ID,TUBAN -- Katib Aam PBNU, KH Yahya Staquf mengingatkan agar semua perguruan tinggi yang ada di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) tidak hanya mengajarkan wacana-wacana intelektual. PT NU, katanya, jangan sampai melupakan pengembangan sisi rohani bagi para mahasiswanya. 

 

Baca Juga

"Kita tidak boleh mengabaikan apalagi meninggalkan dimensi rohani dalam pendidikan anak-anak kita," kata Gus Yahya, sapaan KH Yahya Staquf, Kamis (28/10) di Tuban Jawa Timur. Ia menyampaikan hal itu saat memberi sambutan di sela-sela acara pelantikan Ahmad Zaini sebagai Rektor IAINU Tuban. 

Dulu, kata Gus Yahya menjelaskan, pesantren adalah lembaga pendidikan paling paripurna yang dimiliki umat Islam dan bangsa Indonesia. Di dalamnya diintegrasikan dimensi-dimensi kognitif dangan dimensi spiritual. Maka, lanjutnya, santri bukan semata unggul secara akademis dan intelektual, namun juga mumpuni secara spiritual dan rohani. 

 

"Dulu itu, nggak ada santri yang tidak "sakti". Kalau sudah jadi santri, hampir pasti juga sakti," jelas Gus Yahya. 

Ia menyebut KH Wahab Hasbullah, Rais Aam pertama PBNU sebagai contoh. Dikatakan Gus Yahya, selain masyhur sebagai akademisi paripurna, intelektual sejati, Kiai Wahab juga dikenal sebagai seorang pendekar pilih tanding di zamannya. 

Kenapa bisa lahir orang-orang sekaliber Kiai Wahab, lanjut kandidat Ketua Umum PBNU ini, sebab dari awal pendiriannya, pesantren tidak mengenal istilah pemisahan antara pendidikan berdimensi kognitif dengan dimensi spiritual. Di situlah, lanjut Gus Yahya, terletak inti dan tujuan dari pendidikan yang sebenarnya. 

Di situ jugalah, jelas Gus Yahya, muara semua ilmu pengetahuan. Yaitu, ujarnya, ilmu yang mendatangkan manfaat, bukan saja untuk dirinya, tetapi lebih dari itu juga berguna untuk masyarakat dan lingkungannya. Dengan ilmu yang bermanfaat, jelasnya, akan tercapai tujuan hidup orang beriman, yakni ketakwaan kepada Tuhan YME. 

Oleh sebab itu, lanjut Gus Yahya, ketika ilmu manfaatnya tidak dirasakan oleh diri dan lingkungannya, maka tujuan dari pendidikan tidak tercapai. "Jika IAINU gagal mengintegrasikan dua dimensi ini, maka gagal pula kita dalam menjaga dan meneruskan tradisi _turots_, warisan para pendiri NU, para kiai, ulama, dan guru-guru kita," katanya. 

Memanfaatkan momentum Hari Santri Nasional, Gus Yahya mengingatkan, bahwa ada tanggung jawab besar, khususnya di pundak para pemangku badan-badan pendidikan di NU untuk menyukseskan misi pendidikan ini. Tanpa itu, lanjutnya, anugerah Hari Santri Nasional hanya akan menjadi kebanggaan politik yang semu. 

"Sebab, sebutan santri itu identik dengan kita, NU. Besar sekali makna penghargaan Hari Santri itu untuk kita. Tapi kalau setiap tahun kita menyikapinya dengak seremoni belaka, maka itu akan jadi sia-sia," jelas Gus Yahya. 

Ia meminta, Hari Santri Nasional dijadikan sebagai kebanggaan bersama seluruh bangsa Indonesia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement