Kamis 28 Oct 2021 20:45 WIB

Jalan Tabrani Menjunjung Bahasa Persatuan Menuju Kemerdekaan

Belanda tak mau menerima nama Indonesia karena mengandung gagasan kemerdekaan.

Suasana Museum Sumpah Pemuda, Kramat Raya, Jakarta Pusat, Kamis (28/10). Pada peringatan Sumpah Pemuda ke 93 kali ini, Museum sumpah pemuda masih melakukan penutupan sementara layanan kunjungan untuk umum. Biasanya museum ini ramai dikunjungi warga pada peringatan sumpah pemuda 28 Oktober. Hari sumpah pemuda ke 93 kali ini mengambil tema Bersatu, Bangkit, dan Tumbuh.Prayogi/Republika
Foto:

Bahasa Indonesia Menjadi Simbol Perlawanan

Bagi orang Indonesia, bahasa Melayu menjadi pintu masuk ke penguasaan bahasa Indonesia. Melalui pemungutan suara ketika Achmad Djajadiningrat mengusulkan bahasa Melayu bisa digunakan di Volkraad, akhirnya pada 15 Juni 1918, Kerajaan Belanda membolehkan penggunaan bahasa Melayu di Volksraad.

Tata Tertib Volksraad pun diubah. Pasal 15 Tata Tertib itu berbunyi: Ketua membahas segala hal dalam bahasa Belanda; bahasa ini juga digunakan dalam musyawarah, dengan pengertian bahwa para anggota bebas menggunakan bahasa Melayu jika mereka mau.

Maka, ketika Agus Salim menggunakan bahasa Melayu pada 14 Juni 1923 tak ada penentangan di dalamnya. Penentangan justru dilakukan oleh pers Belanda, mengkritik Agus Salim dengan menyebut tindakannya sebagai tindakan demonstratif. Dua tahun sebelumnya, 1921, Volksraad juga memutuskan pelaksanaan kursus bahasa Melayu untuk para petugas stenografi di Volksraad. Pun ketika Jahja Datuk Kajo menggunakannya pada 1927, tak ada penentangan.

Bahasa Melayu tak memiliki makna politik, tak menyiratkan perlawanan, sehingga penggunaannya tak dilarang, kendati tetap mereka anggap sebagai bahasa rendah. Maka bahasa Melayu juga telah diajarkan di sekolah-sekolah.

Dalam kurun waktu yang panjang, orang Indonesia yang disebut dalam UUD-nya sebagai “inlanders/inheemsche”, dianggap Belanda sebagai tak layak menggunakan bahasa Belanda. Namun, ketika bahasa Indonesia sudah dikampanyekan, di forum-forum resmi seperti di Dewan Rakyat/Dewan Kota/Dewan Kabupaten, orang Indonesia dihalang-halangi menggunakan bahasa Indonesia di hadapan mereka. Perih?

Iya, perih. Itu yang dirasakan oleh Tabrani dan Thamrin ketika ingin menggunakan bahasa Indonesia di Gemeenteraad van Batavia pada 1938. Perih sebelumnya dia alami pada 1926 ketika sering menerima rilis dari Volksraad dalam bahasa Belanda.

Padahal Volksraad dibentuk untuk kepentingan rakyat Indonesia. Pun ketika sidang, pers Indonesia ternyata tidak diundang Volksraad. Yang diundang, pers Eropa.

photo
Tabrani dan intel: Peserta Kongres Pemuda Indonesia Pertama berfoto saat makan bersama di Restoran Insulinde, Pasar Baru. - (Dokumentasi Ipphos/Idayu/Perpusnas)

Karena itulah ia memunculkan wacana penerbitan bahasa Indonesia sejak 16 Januari 1926. Pada 6 Februari 1926 ia mulai sedikit menjelaskan yang ia maksud sebagai bahasa Indonesia. Mendapat dukungan dari pembaca pada 8 Fabruari 1916, pada 11 Februari 1926 bahasa Indonesia ia jelaskan panjang lebar. Muncul polemik. Ada yang tak setuju menciptakan bahasa Indonesia sebelum kemerdekaan. Namun bagi Tabrani justru bahasa Indonesia akan memperkuat perjuangan kemerdekaan.

Ia kemudian mempertegas di buku Ons Wapen yang ia tulis di Belanda. Penggunaan bahasa Indonesia di pers perjuangan akan cepat menyebarkan perjuangan kemerdekaan. Rakyat Indonesia dengan cepat akan memahami tulisan di koran jika menggunakan bahasa Indonesia, daripada menggunakan bahasa Belanda. Penggunaan bahasa Belanda di koran dikhususkan untuk mereka yang tidak memahami bahasa Indonesia.

Gerakan dan pers, menurut Tabrani, merupakan dua kekuatan yang saling membutuhkan, tapi tidak saling mendominasi. “Pergerakan nasional tanpa pers nasional seperti tentara tanpa senjata,” kata Tabrani di buku Ons Wapen.

Tabrani menegaskan perlunya pers nasional menjangkau semua lapisan masyarakat. Hanya dengan cara inilah pers nasional bisa bekerja untuk mengangkat seluruh rakyat dari dunia gelap ke dunia terang.

Pers nasional harus tampil dalam bahasa yang diucapkan dan dipahami oleh rakyat Indonesia. Berarti termasuk juga pengunaan bahasa daerah di pers.

Dengan cara ini, bahasa Indonesia bertumbuh dan bahasa daerah mendukung pertumbuhannya. Di buku itu, Tabrani juga menuangkan pikirannya tentang perlunya pencatatan ilmiah mengenai bahasa Indonesia. Pengajaran bahasa Indonesia kepada para calon wartawan, menurut Tabrani, harus menjadi pelajaran sebagai pelajaran wajib.

Menurut Tabrani, dengan bantuan bahasa yang ada, pergerakan kemerdekaan harus diintensifkan. Promosi bahasa persatuan, bahasa Indonesia, perlu dukungan lewat cara mempelajarinya secara sungguh-sungguh. “Bangsa tanpa bahasa adalah bangkai kapal, tidak memiliki landasan yang kokoh,” tegas Tabrani.

Saat menulis Ons Wapen, Tabrani belum mendapat kabar bahwa bahasa Indonesia sudah dijadikan sebagai bahasa persatuan di Kongres Pemuda Indonesia Kedua. Karenanya, pernyataan dia soal pengoptimalan bahasa di pers seperti ini: ”Berapa lama lagi kita bisa menghebohkan massa jika kita harus menunggu sampai bahasa Indonesia benar-benar menjadi bahasa persatuan kita?”

Maka ketika pulang ke Tanah Air pada akhir 1930 dan mendapat kabar hasil Kongres Pemuda Indonesia Kedua, ia merasa bersyukur. Ia memuji Yamin. “Walapun saya dan Djamaludin (Adinegoro) di luar negeri, dia masih ingat kepada soal nama bahasa persatuan yang belum terselesaikan dalam Kongres Pemuda Indonesia Pertama,” tulis Tabrani pada 1974.

Setelah Sumpah Pemuda 1928, kampanye pengakuan satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa terus digemakan. Kampanye itu dilakukan di tengah upaya pemerintah kolonial menghapus bahasa Melayu dari sekolah-sekolah, karena kebenciannya pada bahasa Indonesia.

photo
Suasana Museum Sumpah Pemuda, Kramat Raya, Jakarta Pusat, Kamis (28/10). Pada peringatan Sumpah Pemuda ke 93 kali ini, Museum sumpah pemuda masih melakukan penutupan sementara layanan kunjungan untuk umum. Biasanya museum ini ramai dikunjungi warga pada peringatan sumpah pemuda 28 Oktober. Hari sumpah pemuda ke 93 kali ini mengambil tema Bersatu, Bangkit, dan Tumbuh.Prayogi/Republika - (Prayogi/Republika.)

Bahkan, ketika Belanda sudah mengakui kemerdekaan Indonesia, Belanda masih membenci bahasa Indonesia. Tokoh-tokoh Belanda mengusulkan agar buku-buku pelajaran berbahasa Indonesia dilarang masuk ke Irian Barat. Belanda juga menjauhkan bahasa Melayu yang digunakan masyarakat Irian Barat lalu hendak menggantinya dengan bahasa Belanda.

Bahasa Melayu yang diajarkan di Irian Barat, kata Belanda, diajarkan oleh orang-orang berpendidikan rendah yang berasal dari Maluku, sehingga tak layak digunakan di sekolah. Maka, pengumuman-pengumuman pun diusulkan dibuat dalam bahasa Belanda, dengan terjemahan singkat bahasa Melayu.

Di Dewan Penasihat Hollandia, Irian Barat, dari 16 anggota, enam di antaranya asli Irian Barat, tetapi hanya satu yang bisa berbahasa Belanda. Maka sejak 1957, disediakan penerjemah bahasa Melayu untuk menerjemahkan pidato-pidato berbahasa Belanda ke dalam bahasa Melayu.

Jadi, saat itu Belanda berkepentingan mengutamakan bahasa Belanda. Sekarang, giliran kita yang berkepentingan mengutamakan bahasa Indonesia!

Catatan:

Tulisan ini merupakan pengembangan dari naskah berjudul “Mengutamakan Bahasa Negara” yang dibawakan di “Lokakarya Pengutamaan Bahasa Negara bagi Lembaga Swasta” yang diselenggarakan oleh Badan Bahasa pada Senin, 27 September 2021.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement