Kamis 28 Oct 2021 15:40 WIB

Penolakan Gugatan UU ITE Ancam Kebebasan Berekspresi

Penolakan gugatan terhadap UU ITE dianggap tak pertimbangkan HAM.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Indira Rezkisari
UU ITE
Foto: republika
UU ITE

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektonik (UU ITE) nihil mempertimbangkan argumentasi hak asasi manusia (HAM). MK dianggap tidak menempatkan akses internet, termasuk konten internet sebagai bagian dari HAM, terutama kebebasan berekspresi dan hak atas informasi.

"Walaupun tergolong sebagai hak yang dapat dibatasi (derogable rights), pembatasan tersebut harus lah sepenuhnya memenuhi syarat pembatasan HAM," ujar Direktur Eksekutif ELSAM Wahyudi Djafar dalam siaran persnya yang diterima Republika, Kamis (28/10).

Baca Juga

Dia menjelaskan, pembatasan HAM dapat dilakukan sepanjang diatur oleh hukum (prescribed by law) dalam bentuk undang-undang atau putusan pengadilan, untuk suatu tujuan yang sah (legitimate aim), dan tindakan mendesak diperlukan (necessity) dengan cara yang proporsional. Alih-alih mengelaborasi problem pembatasan HAM tersebut, Djafar mengatakan, MK justru tidak konsisten dalam memaknai prescribed by law sebagai syarat pembatasan HAM.

Menurut dia, putusan MK dalam perkara nomor 81/PUU-XVIII/2020 terhadap Pasal 40 ayat 2b UU ITE mengenai pemutusan akses informasi itu, secara tidak langsung mengafirmasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 sebagai rujukan hukum dalam membatasi HAM. Padahal frasa "berdasarkan hukum" dalam pembatasan HAM hanya dapat dilakukan melalui UU (selain putusan pengadilan) sebagaimana Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945.

Djafar pun menyinggung putusan sebelumnya terhadap uji materi Pasal 31 ayat 4 UU ITE terkait dengan pengaturan prosedur intersepsi komunikasi. Dalam putusan itu, MK telah berpendirian, apabila negara ingin membatasi HAM, maka negara sepatutnya harus melakukan pembatasan dalam bentuk UU dan bukan peraturan pemerintah termasuk dalam pengaturan prosedur tindakan pembatasannya.

"Putusan ini juga gagal dalam memberikan elaborasi lebih jauh tentang bagaimana sejatinya pengaturan tata kelola konten internet di Indonesia, salah satunya dengan berkaca pada praktik pengaturan serupa di negara lain," kata Djafar.

Menurut dia, semestinya MK dapat menggunakan pendekatan perbandingan untuk melihat pembelajaran dari negara lain mengenai tata kelola internet. Hal ini guna memastikan adanya checks and balances dalam tindakan pembatasan terhadap konten internet untuk mencegah terjadinya praktik yang sewenang-wenang.

Selain itu, penting juga mempertimbangkan, negara bukan satu-satunya aktor pengambil keputusan yang tersedia dalam melakukan pembatasan konten internet. Sebab, ada platform yang berperan lebih besar dalam mengatur lalu lintas informasi yang ada di internet, sesuai dengan karakteristik unik internet.

Putusan MK ini juga menegaskan, penjelasan tertulis berupa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) sebelum pemutusan akses internet tidak diperlukan, melainkan cukup dengan tindakan pemerintah saja. MK beralasan aspek kecepatan dari transmisi informasi melalui internet penting ditindak segera.

Djafar menuturkan, pandangan tersebut mengesankan, MK melihat internet sebagai suatu instrumen kejahatan yang harus dikhawatirkan dan mengancam. Padahal, internet sesungguhnya adalah sarana yang melahirkan banyak inovasi, kesempatan, dan bersifat memberdayakan.

"Hal ini sebagaimana dikatakan Frank La Rue, Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi (2011), yang menyebutkan bahwa internet telah menjadi  alat yang sangat diperlukan untuk mewujudkan berbagai hak asasi manusia, memberantas ketidakadilan, dan mempercepat pembangunan dan kemajuan manusia," kata Djafar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement