Rabu 27 Oct 2021 16:23 WIB

MK Tolak Gugatan UU ITE, Dua Hakim Dissenting Opinion

Dua hakim MK menilai prosedur pemutusan internet harus diatur secara jelas.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Agus raharjo
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman didampingi anggota Majelis Hakim MK Aswanto (kiri) dan Saldi Isra (kanan) memimpin sidang lanjutan pengujian formil dan materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945 di Ruang Sidang Gedung MK, Jakarta, Rabu (13/10/2021). (Ilustrasi)
Foto: ANTARA/Aprillio Akbar
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman didampingi anggota Majelis Hakim MK Aswanto (kiri) dan Saldi Isra (kanan) memimpin sidang lanjutan pengujian formil dan materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945 di Ruang Sidang Gedung MK, Jakarta, Rabu (13/10/2021). (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektonik (UU ITE). Gugatan ini diajukan warga Jayapura, Papua, bernama Arnolds Belau dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) terhadap pasal 40 ayat 2b mengenai pemutusan internet.

"Amar putusan, mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan perkara nomor 81/PUU-XVIII/2020, Rabu (27/10).

Pasal 40 ayat 2b UU ITE berbunyi, "Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum."

Dalam pertimbangannya, MK menolak dalil pemohon yang menyebut pasal pemutusan internet di UU ITE bertentangan dengan prinsip negara hukum. MK berpendapat, pemerintah berwenang melakukan hal itu sebagai bentuk pencegahan atas penyebarluasan dan penggunaan informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan dilarang sesuai ketentuan perundangan-undangan.

Menurut MK, kekhawatiran para pemohon atas adanya tindakan pemerintah memutus akses informasi elektronik tidak akan terjadi. Sebab, tindakan pemutusan akses hanya dilakukan apabila terdapat unsur adanya konten yang memiliki muatan yang melanggar hukum.

MK juga menyatakan dalil pemohon yang menyebutkan pemutusan akses tanpa didahului dengan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) secara tertulis merugikan hak konstitusional untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum. Menurut MK tidak mungkin bagi pemerintah untuk menerbitkan KTUN sebelum pemutusan akses karena konten dalam internet tersebar dengan cepat di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja.

MK juga menilai, pemerintah tetap menjamin asas keterbukaan. Pemerintah telah menyampaikan notifikasi digital berupa pemberitahuan kepada pihak yang akan diputus akses informasi elektronik.

Namun, dua hakim MK yakni Suhartoyo dan Saldi Isra memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion perihal pengujian UU ITE tersebut. Saldi menuturkan, prosedur pemutusan akses dan/atau memerintahkan pemutusan akses harus memperhatikan hak-hak atas informasi setiap warga negara sebagai salah satu hak asasi manusia (HAM).

Dalam konteks itu meski memiliki wewenang, prosedur yang mesti ditempuh pemerintah dalam melakukan pemutusan akses harus pula diatur secara pasti. Hal ini demi mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang.

Saldi mengatakan, dalam norma pasal 40 ayat 2b UU ITE sama sekali tidak termuat adanya prosedur yang mesti dilakukan pemerintah dalam melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan pemutusan akses. Padahal dalam batas penalaran yang wajar wewenang yang diberikan dalam norma tersebut kepada pemerintah adalah menyangkut atau berdampak pada pembatasan HAM atau hak konstitusional warga negara sehingga seharusnya juga diatur secara jelas.

Sekalipun terdapat kewajiban pemerintah menerbitkan penjelasan secara tertulis dalam melaksanakan wewenang dimaksud, kata Saldi, tidak harus berupa keputusan administrasi pemerintahan atau KTUN secara tertulis seperti yang dimohonkan pemohon. Melainkan cukup dengan penjelasan tertulis berupa pemberitahuan baik lewat surat tertulis maupun digital yang disampaikan kepada pengguna informasi elektronik.

Saldi pun menuturkan, seharusnya MK menyatakan pasal 40 ayat 2b UU ITE adalah konstitusional sepanjang dimaknai, "Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum setelah mengeluarkan atau disertai penjelasan tertulis atau digital."

"Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas seharusnya permohonan pemohon dinyatakan beralasan menurut hukum untuk sebagian," kata Saldi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement