Selasa 26 Oct 2021 19:52 WIB

Mungkinkah Menurunkan Harga PCR tanpa Subsidi?

Menkes mengatakan, pemerintah tidak akan memberikan subsidi bagi PCR. 

Calon penumpang pesawat terbang menjalani tes usap PCR di Bandara Husein Sastranegara, Kota Bandung, Selasa (26/10). Pemerintah berencana menjadikan tes PCR syarat wajib perjalanan untuk pengguna semua moda transportasi guna mencegah lonjakan kasus Covid-19 jelang libur Natal dan tahun baru (Nataru). Foto: Republika/Abdan Syakura
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Calon penumpang pesawat terbang menjalani tes usap PCR di Bandara Husein Sastranegara, Kota Bandung, Selasa (26/10). Pemerintah berencana menjadikan tes PCR syarat wajib perjalanan untuk pengguna semua moda transportasi guna mencegah lonjakan kasus Covid-19 jelang libur Natal dan tahun baru (Nataru). Foto: Republika/Abdan Syakura

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Novita Intan, Antara

 

Baca Juga

Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menilai penurunan tarif tes PCR menjadi Rp 300 ribu sulit dilakukan tanpa adanya subsidi dari pemerintah. Karena itu kewajiban PCR sebagai syarat perjalanan kurang bijak.

Waketum Kadin Indonesia Bidang GCG & CSR Suryani Motik mengatakan margin 50 persen sampai 60 persen yang disebutkan pemerintah belum termasuk komponen jasa pelayanan biaya operasional, tenaga kesehatan dan dokter yang diperlukan dalam memproses sampel serta memvalidasi hasil PCR. “Mungkin saja diturunkan. Tetapi harus ada subsidi dari pemerintah agar tarifnya dapat ditekan hingga mencapai Rp 300 ribu,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (26/10).

 

Pemerintah sudah dua kali menurunkan tarif tes PCR yang berlaku secara nasional. Namun, tidak semua penyedia layanan PCR setuju dengan kebijakan ini mengingat akan ada dampak dari segi kualitas yang dipertaruhkan. 

Sementara itu Kabid Penanganan Kesehatan Satgas Covid-19 Alexander Ginting menambahkan apabila harga PCR harus diturunkan menjadi Rp 300 ribu maka harus ada subsidi oleh pemerintah. “Hal ini terkait dengan produksi bahan baku yang sampai sekarang belum dapat terproduksi besar di Indonesia,” ucapnya.

Selain itu, para penyedia layanan sendiri menyediakan paket tes PCR yang harganya masih dalam regulasi pemerintah yang wajar. Jika perlu dibandingkan, harga tes PCR di luar negeri jauh lebih tinggi. 

Dari sisi industri, Perwakilan dari Bumame Farmasi Nathasa Febrina mengatakan jika ingin dibandingkan, ada India yang memiliki tarif lebih rendah. Namun, tarif PCR di India mendapatkan subsidi penuh dari pemerintah pusat mengingat mereka sempat mengalami ledakan kasus Covid-19.

“Jadi, intinya kembali ke awal, kami selalu mengedepankan kualitas dan ketepatan hasilnya dapat kami pertanggung jawabkan. Kami akan sangat berat hati jika harus menurunkan lagi tarifnya karena hal ini akan berdampak langsung dengan kualitas layanan yang kami tawarkan pada pelanggan kami,” ucapnya.

Sejak awal, Bumame Farmasi telah berkomitmen memberikan layanan untuk memudahkan masyarakat. Selain itu, perusahaan selalu mengacu kepada kebijakan yang dirilis oleh pemerintah pusat. 

“Semua laboratorium kami telah bersertifikat resmi Kementerian Kesehatan. Kami berharap Pemerintah Indonesia dapat mempertimbangkan keputusan ini lebih bijak agar kami sebagai penyedia layanan dapat bekerja maksimal,” ucapnya. 

Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin dalam konferensi pers yang diikuti dari YouTube Perekonomian RI di Jakarta, Selasa (26/10) siang,  memastikan pemerintah tidak akan mengucurkan dana subsidi untuk menurunkan tarif PCR. "Pemerintah tidak merencanakan ada subsidi karena memang kalau kita lihat harganya, apalagi sudah diturunkan itu sudah cukup murah," kata Budi. 

Ia mengatakan harga PCR di Indonesia yang semula dipatok Rp 900 ribu per orang sudah 25 persen lebih rendah harganya bila dibandingkan dengan harga PCR di bandara lain di dunia. "Jadi kalau misalnya diturunkan ke Rp 300 ribu, itu mungkin masuk yang paling murah dibandingkan dengan harga PCR bandara di dunia," katanya.

Ia mengatakan India masih menjadi negara dengan tarif PCR termurah di dunia selain China. "Yang paling bawah memang India murah sekali Rp 160 ribu. Tapi memang India membuatnya di dalam negeri kemudian ekonominya berkembang karena juga rakyatnya banyak itu bisa tercapai," katanya.

Tarif PCR yang ditentukan oleh Presiden Joko Widodo senilai Rp300 ribu, disebut Budi sudah yang paling murah dibanding harga tes PCR di seluruh dunia yang di bandara.

Kewajiban PCR bagi pengguna pesawat memunculkan petisi menolak kebijakan tersebut. Pembuat petisi penolakan tes reaksi berantai atau PCR bagi calon penumpang pesawat, Dewangga Pradityo (31) berharap tarif PCR menyentuh nominal yang sama dengan antigen.

"Kemarin anjuran Presiden Joko Widodo agar PCR diturunkan Rp 300 ribu, tapi itu masih mahal. Kalau bisa seharga antigen dengan harga Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribu itu sudah agak lumayan penumpangnya," kata Dewangga Pradityo.

Pria yang berprofesi sebagai pegawai mekanik pesawat di salah satu anak perusahaan maskapai di Indonesia itu menyebut tarif tes cepat juga mempengaruhi keberlangsungan usaha maskapai dan kesejahteraan pegawai. Mekanik lulusan Politeknik Bandung, Jawa Barat, itu merasakan dampak pandemi Covid-19 terhadap pendapatan yang diterima dari perusahaan.

"Sekarang penerbangan berkurang, gaji terlambat dan teman di bidang yang sama tapi beda perusahaan sampai ada yang potong gaji dan dirumahkan sejak Juli 2021. Kalau yang lain sejak awal pandemi sudah merasakan. Kalau saya terasa telat gaji sejak pertengahan 2021," katanya.

Atas situasi itu, Dewangga pun memilih membuka petisi melalui platform Change.org. Sejak dibuka, pada Kamis (14/10), sudah lebih dari 40 ribu orang berpartisipasi dalam penolakan itu. "Petisi ini sesuai dengan suara hati saya dan ternyata banyak juga yang satu pemikiran sama saya soal PCR," katanya.

photo
Ketentuan perjalanan udara domestik - (Tim infografis Republika)

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement