Senin 25 Oct 2021 15:28 WIB

Salah Ucap Biden Timbulkan Kekhawatiran di China dan Asia

Angka-angka mengonfirmasi bahwa hubungan AS-Taiwan semakin dekat.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
JONATHAN ERNST/REUTERS
JONATHAN ERNST/REUTERS

Pada Agustus lalu, stasiun televisi ABC bertanya kepada Presiden Amerika Serikat Joe Biden tentang laporan media China, yang merujuk pengambilalihan Afghanistan oleh Taliban sebagai bukti bagi Taiwan, betapa Washington tidak bisa diandalkan.

Biden bersikeras apa yang terjadi di Afghanistan tidak berhubungan dengan komitmen AS kepada Taiwan, Korea Selatan, dan NATO. "Kami membuat komitmen suci pada Pasal 5 [perjanjian NATO] bahwa jika, pada kenyataannya, ada orang yang menyerang atau mengambil tindakan terhadap sekutu NATO kami, kami akan merespons," kata Biden.

"Sama dengan Jepang, sama dengan Korea Selatan, sama dengan Taiwan," kata Biden.

Seorang pejabat pemerintahan AS mengklarifikasi, seraya mengatakan "kebijakan AS berkaitan dengan Taiwan tidak berubah." Analis mengatakan Biden tampaknya "salah bicara."

AS memiliki 'militer paling kuat'

Ketika ditanya CNN pada Kamis (21/10), apakah Amerika Serikat bersedia dan mampu membela Taiwan jika terjadi serangan oleh Cina, Biden menjawab: "ya dan ya."

"Cina, Rusia, dan seluruh dunia tahu bahwa kami memiliki militer paling kuat dalam sejarah dunia," jawab Biden.

Lebih lanjut saat ditanya oleh moderator apakah itu berarti AS akan membela Taiwan jika China menyerang, Biden berkata: "Ya, kami memiliki komitmen untuk melakukan itu."

Klarifikasi lain dari Gedung Putih

Sekali lagi, juru bicara Gedung Putih mengklarifikasi setelah Biden berbicara bahwa tidak ada perubahan dalam kebijakan AS terkait Taiwan, kerja sama pertahanan terus dilakukan di bawah Undang-Undang Hubungan Taiwan, yang disahkan Kongres pada 1979, ketika Amerika Serikat dan Republik Rakyat Cina menjalin hubungan diplomatik.

Menurut undang-undang tersebut, Amerika Serikat "harus mempertahankan kapasitas untuk melawan segala upaya kekerasan atau bentuk paksaan lain yang akan membahayakan keamanan atau sistem sosial atau ekonomi rakyat Taiwan."

Kata-kata dari undang-undang tersebut adalah dasar dari apa yang disebut pengamat sebagai "ambiguitas strategis" dari kebijakan AS sejak 1979. Washington telah membiarkannya terbuka apakah Amerika Serikat akan datang membantu Taiwan dengan intervensi militer, jika pasukan Cina menyerang. Rumusan seperti itu akan ditafsirkan oleh pemerintah Cina sebagai dukungan bagi kemerdekaan Taiwan.

Hubungan Taiwan dan China yang semakin menjauh

Meskipun pengiriman senjata AS ke Taiwan terus berlanjut, Amerika Serikat dan China menjalin hubungan yang lebih erat sejak 1979, terutama pada akhir 1990-an di bawah mantan presiden Bill Clinton dan Jiang Zemin.

Namun, kemesraan itu sudah berakhir, tulis Marco Overhaus, dari Institut Jerman untuk Urusan Internasional dan Keamanan (SWP) yang berbasis di Berlin, dalam sebuah artikel untuk surat kabar Die Welt.

"Di Washington, ada persepsi bahwa persaingan dengan China adalah perjuangan epik antara pasar bebas yang demokratis dan negara-kapitalis otoriter Cina," tulis Overhaus pada 18 Oktober. "Presiden AS Joe Biden telah menegaskan diri, demokrasi melawan negara-negara otoriter di pusat kebijakan luar negerinya."

Presiden Tsai Ing-wen adalah personifikasi identitas Taiwan baru yang jelas berbeda dari daratan. Tidak ada pertanyaan untuk mendeklarasikan kemerdekaan Taiwan karena itu adalah "garis merah" untuk Beijing dan melintasinya secara otomatis akan 'mengundang' tanggapan militer.

Washington 'perlahan menyesuaikan' arahnya

Bonnie Glaser, Direktur Program Asia di Dana Marshall Jerman Amerika Serikat, mengatakan kepada kantor berita Reuters, Tsai berusaha mempertahankan status quo di Selat Taiwan dan tidak bersalah atas provokasi tertentu. Namun, kata Glaser, pemerintah Cina prihatin dengan penguatan hubungan pertahanan antara Taiwan dan Amerika Serikat, di antara isu-isu lainnya.

Angka-angka mengonfirmasi bahwa hubungan AS-Taiwan semakin dekat. "Pada tahun fiskal 2016 hingga 2020, AS menjual senjata senilai sekitar $16,7 miliar ke Taiwan,” Overhaus, dari SWP, menulis di Die Welt. "Pada tahun fiskal 2020, Taiwan adalah pelanggan terbesar senjata AS, dengan $11,8 miliar."

Overhaus juga telah mendeteksi tekanan yang meningkat dari Kongres untuk tidak lagi membatasi pemerintah AS dalam penjualan senjata, yang secara eksplisit berkomitmen untuk membela Taiwan dan menghalangi Beijing. Meskipun pembantu utama Biden telah menolak perubahan kebijakan seperti itu, Overhaus menulis, Washington "perlahan menyesuaikan" arahnya.

Tanda-tandanya, tulisnya, termasuk kehadiran pasukan khusus AS di Taiwan dan "laporan yang meningkat tentang kunjungan tingkat tinggi ke Taiwan dari Departemen Luar Negeri dan Pertahanan AS."

Reuters melaporkan, Glaser menyebut pernyataan Biden baru-baru ini sebagai "kekeliruan" dan mengatakan "benar-benar salah" bagi Biden untuk mengatakan AS memiliki komitmen untuk membela Taiwan. (ha/rzn)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement