Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image NINDYA CIPTA KARIZA

Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi dalam Perspektif Hukum HAM

Politik | Thursday, 14 Oct 2021, 19:52 WIB

Pada kasus mantan Mentri Sosial yakni Juliari Batubara bulan lalu telah divonis 12 Tahun penjara dan denda Rp500 juta Subsidair 6 bulan kurungan atas kasus korupsi Bansos. Selain Pidana pokok dijatuhi terdapat pula hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi di Indonesia telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sehingga konsekuensi atas hal tersebut ialah pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa pula. Salah satu cara luar biasa yang dapat dilakukan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adalah melalui penjatuhan hukuman pembatasan hak politik. Pembatasan hak politik yang dimaksud di sini yakni berupa pemberhentian secara tetap atau sementara hak-hak untuk memegang jabatan ataupun hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum bagi setiap penyelenggara negara yang melakukan tindak pidana korupsi sejak ditetapkan pidana tambahan tersebut.

Pembatasan Hak Politik dalam Hukum HAM

Secara prinsip, hak sipil dan politik merupakan hak non-derogable (hak yang tidak bisa dikurangi atau dikecualikan). Namun mengacu Pasal 4 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dikatakan bahwa:

1. Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan dan keberadaan bangsa, Negara pihak dapat mengambil tindakan mengurangi kewajiban negara seperti yang disebutkan dalam kovenan ini, sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut, sepanjang tindakan itu tidak bertentangan dengan kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau asal-usul sosial.

2. Pengurangan kewajiban atas Pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16, dan 18 tidak dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan ini.

3. Setiap Negara Pihak kovenan yang menggunakan hak untuk melakukan pengurangan tersebut harus segera memberitahukan kepada Negara-Negara Pihak lainnya melalui perantaraan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang ketentuan-ketentuan yang dikurangi serta alasan pemberlakuannya. Pemberitahuan lebih lanjut harus dilakukan melalui perantara yang sama pada saat berakhirnya pengurangan tersebut.

Berdasarkan Pasal 4 ICCPR tersebut negara diberi hak untuk melakukan pengurangan (derogasi) dengan beberapa syarat. Lebih lanjut, penerapan pengurangan hak sipil dan politik di Indonesia tidak diperkenankan jika hanya mengacu pada ICCPR, karena Negara melalui konstitusinya telah lebih dahulu memberikan aturan main yang lebih terperinci melalui Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), yang menyatakan "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun".

Jika melihat konsep ICCPR dan Konstitusi di atas, jelas bahwa aturan main yang diterapkan ialah meski ICCPR memberikan ruang untuk pengurangan hak sipil dan politik dengan syarat akan tetapi Negara menegaskan untuk beberapa hak sipil dan politik tidaklah dapat dilakukan pengurangan dalam keadaan apapun. Oleh karena itu, terhadap hak politik berupa berpartisipasi dalam pemerintahan dan pemilihan umum bukan merupakan bagian dari hak yang dilarangan pengurangan oleh Konstitusi, maka sederhananya, pembatasan terhadap hak tersebut masih diperbolehkan.

Evaluasi dan Prospek Pembatasan Hak Politik Terhadap Terpidana Korupsi

Prof. Mahfud MD dalam teori yang dibangunnya mengatakan bahwa hukum merupakan produk politik. Sistem politik yang otoriter akan melahirkan produk hukum yang ortodok dan sistem politik yang demokratis akan melahirkan produk hukum yang responsif yang sesuai dengan harapan dan aspirasi masyarakat. Hal inilah yang disebut sebagai politik hukum (legal policy), sehingga setiap produk hukum yang akan dibuat oleh negara harus dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara.

Berdasarkan teori ini, beberapa produk hukum yang lahir setelah reformasi 1998 banyak diarahkan untuk menyelesaikan segala persoalan vang lahir sejak rezim orde baru berkuasa, termasuk juga penyelesaian masalah tindak pidana korupsi. Meskipun sejak dimulainya era reformasi negara Indonesia telah memberlakukan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, akan tetapi peraturan perundang-undangan tersebut masih memiliki kelemahan khususnya jika diintegrasikan dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

Di antara beberapa kelemahan pengaturan dalam pemberantasan korupsi adalah masih diberlakukannya cara-cara biasa dalam memberikan efek jera terhadap pelaku tindak korupsi, sebagai contoh sanksi pemberhentian jabatan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”), sanksi pemberhentian jabatan yang berlaku saat ini hanyalah pemberhentian jabatan tetap yakni jika seorang penyelenggara negara sudah berstatus menjadi terpidana berdasar putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan pemberhentian jabatan sementara belum banyak diterapkan. Padahal pemberlakuan pemberhentian jabatan sementara secara masif cukup penting untuk diterapkan, mengingat ketika seorang penyelenggara Negara dinyatakan sebagai tersangka atau terdakwa dalam suatu perkara tindak pidana korupsi, maka bukan hal yang mustahil performa dirinya sebagai penyelenggara Negara akan ‘pincang’ yang berarti pelayanan kepada masyarakat akan menjadi tidak optimal.

Disamping itu Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang seharusnya diharapkan menjadi titik terang keseriusan pemberantasan korupsi di Indonesia justru mengecewakan publik dengan berbagai problematika salah satunya pengalihan status pegawai KPK menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sedikit banyak akan mempengaruhi independensinya.

Jika mendasarkan pada teori yang dikembangkan oleh. Mahfud MD sebelumnya yang menyatakan bahwa hukum merupakan produk politik, maka kedudukan politik sangatlah menentukan hukum yang akan dilahirkan. Jika sistem politik ‘sehat’, maka perbaikan dan pengintegrasian peraturan perundangan-undangan untuk menunjang pemberantasan korupsi merupakan suatu yang pasti. Begitupun sebaliknya, jika sistem politik ‘sakit’, maka bukan hal yang mustahil jika hukum yang dilahirkan juga dalam kondisi ‘sakit’ atau bahkan ‘menyakitkan’ masyarakatnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image