Jumat 22 Oct 2021 04:26 WIB

Plus dan Minus Interaksi Sosial di Ruang Siber

Teknologi digital seakan memberi ruang ekspresi bebas tanpa rintangan.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Indira Rezkisari
Perkembangan pesat teknologi digital berdampak kepada kehidupan dan perilaku di ruang siber.
Foto: pixabay
Perkembangan pesat teknologi digital berdampak kepada kehidupan dan perilaku di ruang siber.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Dosen Psikologi UGM, Prof Avin Fadilla Helmi mengatakan, perkembangan pesat teknologi digital berdampak kepada kehidupan dan perilaku di ruang siber. Kondisi ini mendorong kemunculan subdisiplin baru psikologi, cyberpsychology.

Bidang ini merupakan studi perilaku manusia dalam konteks interaksi manusia dan internet. Interaksi sosial di ruang siber telah menggeser interaksi yang semula bersifat hubungan langsung menjadi tidak langsung melalui perantara teknologi.

Baca Juga

Selain untuk memenuhi kebutuhan berkaitan kodrat sebagai mahluk sosial dengan melakukan interaksi sosial, teknologi digital menjadi pilihan yang tidak dapat dihindarkan. Terutama, untuk membangun interaksi antar manusia sebagai solusi.

Namun, perlu sikap waspada atas penggunaan berlebih yang bisa sebabkan gangguan kesehatan dan kesejahteraan psikologis. Sebab, teknologi digital memberi ruang ekspresi bebas tanpa rintangan lewat anonimitas, asynchronous dan aksesibilitas.

Meski begitu, Avin melihat, di balik kebebasan ekspresi, faktor keterikatan diri terhadap kehadiran orang lain sering kali dilupakan. Sehingga, fenomena presentasi diri yang berlebih atau bisa disebut dengan ngeksis sering terjadi.

"Jejak digital 'ngeksis' terekam sepanjang masa dan kadang kurang menguntungkan pada masa depan sebagai bentuk identitas diri," kata Avin ketika pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Psikologi Sosial UGM di Balai Senat UGM, Kamis (21/10).

Di ruang siber, kata Avin, penggunaan prinsip anonimitas menyebabkan identitas diri tidak diketahui orang lain. Dengan fitur asynchronous, warganet mempunyai kesempatan untuk dapat mengedit dan membuat foto unggahan yang lebih baik.

Tujuannya, agar citra diri menarik. Bila unggahan mendapatkan respons emoticon like atau komentar yang positif, maka kondisi ini dapat menjadi umpan balik yang memotivasi seseorang untuk lebih mengungkapkan dirinya.

Namun, terlalu asik eksplorasi di ruang siber, ditambah fitur-fitur yang beragam, memberikan kepuasan bagi penggunanya. Sekaligus, menimbulkan rasa penasaran atau sering disebut kepo (knowing every particular object).  

Kebiasaan kepo menyebabkan muncul perasaan takut ketinggalan informasi, dalam bahasa gaul disebut sebagai kudet atau kurang update. Bila fenomena kudet terus berlangsung bisa timbulkan ketakutan dan mengalami fomo (fear of missing out).

"Fomo merupakan suatu kondisi psikologis cemas, ketika seseorang merasa tidak terlibat atau tidak diajak dalam aktivitas yang bermakna," ujar Avin.

Dari aspek-aspek psikologis, interaksi sosial di ruang siber yang merupakan kombinasi atau interaksi antara kompetensi diri di era digital. Antara lain adaptabilitas dan agilitas dengan fitur-fitur teknologi digital.

Melalui anonimitas, asinkron, aksesibilitas dan jejak digital yang tidak bisa dihapus. Menurut Avin, bisa mendorong ke arah positif dan sejahtera bila mampu mengoptimalkan kompetensi memakai fitur-fitur teknologi digital dengan tepat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement