Kamis 21 Oct 2021 22:26 WIB

Kemenkes: Gelombang Ketiga Covid-19 Niscaya Bisa Terjadi

Potensi gelombang bisa terjadi pada awal Januari

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Muhammad Subarkah
AKABRI 1999 Peduli menggelar vaksinasi massal dan penyaluran bantuan sosial di wilayah Polresta Cirebon, Rabu (20/10).
Foto: Humas Polresta Cirebon
AKABRI 1999 Peduli menggelar vaksinasi massal dan penyaluran bantuan sosial di wilayah Polresta Cirebon, Rabu (20/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat kasus Covid-19 di Indonesia melandai dan positivity rate sebesar 0,6 persen per Kamis (21/10).  Kendati demikian, Kemenkes melihat gelombang ketiga adalah sesuatu yang niscaya berpotensi terjadi, termasuk usai libur natal dan tahun baru akhir tahun 2021 nanti.

"Gelombang ketiga adalah sesuatu yang niscaya berpotensi terjadi. Karena satu jurnal ilmiah sudah menyatakan bahwa Covid-19 ini sifatnya akan menimbulkan gelombang epidemiologi berkali-kali," ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes Siti Nadia Tarmizi saat berbicara di konferensi virtual bertema Antisipasi Gelombang Ketiga Covid-19, Benarkah Terjadi Akhir Tahun?, Kamis (21/10).

Jadi, ia menambahkan, Covid-19 tidak cukup hanya satu gelombang dan setelah mencapai puncaknya kemudian turun kemudian selesai. Artinya itu tak terjadi pada pola penyebaran Covid-19. Apalagi, ia menyebutkan banyak negara yang saat ini sudah mengalami gelombang tiga, padahal mengalami cakupan vaksinasi yang tinggi dan memiliki tingkat protokol kesehatan (prokes) yang sudah baik. Ini misalnya Eropa, Inggris, Amerika Serikat.

 

Nadia menambahkan, negara-negara ini sudah relaksasi karena masyarakatnya sudah tak pakai masker, melakukan aktivitas di tempat publik, tempat terbuka, jaga jarak sudah tak dilakukan karena cakupan vaksinasinya sudah lebih dari 70 persen sasaran vaksinasi.

 

"Kemudian setelah ada varian delta, kasus Covid-19 di negara-negara ini kembali naik dan mereka berjuang menurunkan kasus meski kasus kematian sangat rendah. Artinya, dia melanjutkan, gelombang ketiga Covid-19 sangat memungkinkan terjadi di Indonesia karena sudah ada contohnya di negara lain,'' ujarnya.

 

Apalagi, lanjutnya, setiap ada peningkatan mobilitas selalu terjadi peningkatan kasus Covid-19. Hal itu karena biasanya kalau kasus Covid-19 turun maka ada relaksasi aktivitas masyarakat, termasuk ibadah. "Biasanya dalam kondisi aman seperti sekarang, pihaknya menilai masyarakat cenderung dalam protokol kesehatan (prokes) yang biasa dijalankan jadi kendor. Jadi, tak lagi disiplin prokes."

 

"Apalagi, di akhir tahun ini ada beberapa hal yang membuat terjadinya potensi peningkatan kasus Covid-19," katanya lagi.

.

Pertama, Nadia melanjutkan, perayaan maulid nabi yang membuat pergerakan masyarakat terjadi. Kemudian momen kedua adalah natal dan pascaperingatan natal, kemudian terakhir adalah tahun baru.

 

Nadia mengakui, nantinya setelah tahun baru ada peningkatan kasus dan ini dialami saat pergantian tahun 2020 menuju ke 2021. Pihaknya mencatat kasus Covid-19 per Januari 2021 lalu ternyata naik sangat signifikan meski masih lebih tinggi saat Juli. Apalagi varian delta yang banyak terjadi di negara lain juga ada di Indonesia, hampir 90 sampai 98 persen.

 

" Kami mengakui varian delta jadi perhatian pihaknya karena sifatnya lebih ganas dan sifatnya infeksius namun masih merupakan varian yang dominan."

 

"Jadi ini (kemungkinan gelombang ketiga) harus membuat kita waspada karena aktivitas meningkat, prokes yang kadang-kadang kendor akan menyebabkan perluasan penyebaran virus.  Jadi, potensinya niscaya terjadi," katanya.

 

Artinya, Nadia kembali menambahkan, virus varian delta itersebut akan menimbulkan serangan beberapa kali. Mungkin dengan adanya vaksinasi masyarakat luas, tak hanya Indonesia melainkan juga global dan akhirnya terjadi penurunan kasus.

 

"Jika belajar dari ilmu saintifik, pada saat laju penularannya menurun maka harus ditekan serendah mungkin. Kemenkes pun telah menargetkan menekan laju penularan adalah 10 per 1 juta penduduk atau maksimal kasusnya hanya 2.700. Ketika menahan kasus ini, ia menegaskan upaya yang harus dilakukan harus dari hulu sampai dengan hilir,'' tegas Nadia.

 

Menurut Nadim kalau berbicara oksigen dan obat itu di hilir. Tetapi yang paling penting adalah di hulu, bagaimana protokol kesehatan (prokes) diketatkan, deteksi dini karena jangan sampai masyarakat takut untuk dites karena takut dicovidkan atau mendapatkan stigma.

 

Dia melanjutkan, saat ini kondisi positivity rate Indonesia yaitu 0,6 persen. Padahal, organisasi kesehatan dunia PBB (WHO) mensyaratkan positivity rate maksimal 5 persen. "Artinya positivity rate Indonesia sudah sangat rendah. Pasti sangat sulit menemukan kasus positif (Covid-19)," katanya.

 

Namun, ia meminta kalau ditemukan kasus positif Covid-19 maka harus segera dikarantina, isolasi supaya tak jadi penyebaran. "Penyebaran virus harus ditangani supaya tidak menyebar luas,'' tandas Nadia.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement