Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Erna Sri

Perayaan Unik di Karbala

Agama | Thursday, 21 Oct 2021, 08:42 WIB

Muharram dalam penanggalan hijriah merupakan tahun baru bagi Umat Islam. Muharram sendiri memiliki artian diharamkannya umat Islam melakukan pertumpahan darah dan menjadikan bulan ini sebagai bulan yang sakral. Bulan Muharram juga menjadi bulan yang istimewa karena terdapat banyak peristiwa sejarah yang terjadi di dalamnya. Ahli Sunnah wal Jamaah atau dikenal dengan kaum sunni, mengartikulasikan bahwa perayaan satu Muharram merupakan hari penting, karena memperingati peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW.

Berbeda dengan kaum Syi'ah yang memperingati bulan Muharram ini dengan tradisi yang cukup unik dan menjadi tradisi yang cukup mengerikan bagi sebagian orang. Pernyataan tersebut juga senada dengan ungkapan Dr. Surwandono, M.Si., yang mengatakan bahwa Sunni-Syiah memiliki perbedaan dalam merayakan kedatangan bulan Muharram. “Jika perayaannya kaum Sunni mereka lebih melihat dari peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW dan para sahabat ke kota Madinah.

Sedangkan kaum Syiah dalam perayaannya bukan pada satu Muharramnya, akan tetapi pada tanggal asyura atau tanggal sembilan dan sepuluh bulan Muharram, dimana pada tradisi tersebut kerap dikenal sebagai tradisi Karbala”. Perayaan besar yang dilakukan di Karbala pada hari suci itu dilakukan dengan cara melukai diri sendiri. Mereka beranggapan bahwa peristiwa berdarah yang mereka lakukan merupakan bentuk penyesalan dan rasa bersalah, karena tidak menyelamatkan Hussein bin Ali r.a saat pertempuran Karlaba pada 680 setelah Masehi.

Sejak kepemimpinan Ali bin Abi Thalib r.a, Muawiyah dari Bani Umayyah yang berkedudukan di Syam atau Suriah telah berambisi untuk merebut kekhalifahan dari tangan Ali. Setelah Ali bin Abi Thalib wafat Hasan lah yang menggantikan kekhalifahannya. Hal tersebut terjadi karena adanya desakan dari kaum muslimin. Tampak dari sikap Ali yang tidak mengambil langkah apapun ketika mendapatkan ancaman Muawiyah yang sudah siap siaga untuk merebut seluruh kekuasaan Umat Islam menunjukkan bahwa ia enggan untuk melanjutkan kursi kekhalifahan.

Muawiyah membawa pasukan besarnya dari Syam menuju Kufah untuk menggulingkan Hasan yang telah dibaiat sebagai khalifah. Mendengar kabar tersebut, Hasan mengumpulkan pasukan untuk bersiap melawan pasukan Muawiyah. Namun, hanya sebagian saja dari penduduk Kufah yang menyambut seruan Hasan tersebut, karena sebagian besar lainnya justru mentalnya merosot jauh. Akibat dari pengkhianatan Ubaidillah bin Abbas sebagai pemimpin pasukan yang berbalik mendukung Muawiyah, menyebabkan bertambah merosotnya semangat pasukan muslim.

Di tengah situasi yang rumit, Hasan akhirnya memutuskan untuk melakukan perdamaian dengan Muawiyah dan menyerahkan kekhalifahannya kepada Muawiyah. Tak lama setelah itu Hasan akhirnya meninggalkan Kufah dan tinggal di Madinah sampai akhir hayatnya. Pada tahun ke-60 hijriah, Muawiyah meninggal dan mewariskan kekhalifahannya ke anaknya yang bernama Yazid bin Muawiyah.

Sepeninggal dua orang tersebut, sejarah mencatat bahwa kebencian Muawiyah kepada Ali bin Abi Thalib dan putranya Hasan, terus berlanjut ketika Yazid berkuasa dan membenci Husain. Pada saat itu, Husain bin Ali r.a yang tinggal di Mekkah bersama beberapa sahabat Rasulullah, diantaranya Ibnu Abbas r.a dan Ibnu Zubair r.a. Sementara penduduk Iraq yang didominasi oleh pengikut Ali bin Abi Thalib r.a menuliskan surat kepada Husain bin Ali r.a yang berisi permintaan agar Husain bin Ali r.a untuk pindah ke Iraq.

Mereka berjanji akan membai’at Husain bin Ali r.a sebagai khalifah karena mereka tidak menginginkan Yazid bin Muawiyah untuk menduduki kursi kekhalifahan. Tidak cukup dengan surat, mereka juga mendatangi Husain bin Ali r.a dan mengajak beliau untuk berangkat ke Kufah dan berjanji untuk menyediakan pasukan yang mengiringi keberangkatan Husain bin Ali r.a. Para Sahabat seperti Ibnu Abbas r.a kerap kali menasehati Husain bin Ali r.a agar tidak memenuhi keinginan mereka, terlebih karena ayah Husain bin Ali r.a yaitu Ali bin Abi Thalib r.a meninggal dibunuh di Kufah dan Ibnu Abbas r.a khawatir Husain bin Ali r.a juga dibunuh disana.

Tetapi Husain bin Ali r.a mengatakan bahwa ia telah melakukan sholat Istikhoroh dan akan tetap berangkat kesana. Sementara disisi lain Ubaidullah bin Ziyad yang diutus oleh Yazid bin Muawiyah untuk mengatasi pergolakan di Iraq berhadapan dengan pasukan Husain. Pergolakan tersebut dipicu oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan Husain. Dua pasukan yang tidak imbang tersebut bertemu, sementara orang-orang Iraq yang membujuk Husain dan berjanji akan membantu menyiapkan pasukan justru melarikan diri dan meninggalkan Husain yang tengah berhadapan dengan pasukan Ubaidullah.

Sejak saat itulah Syiah memperingatinya dengan ritual berdarah atau festival Ashura untuk mengungkapkan ekspresi penyesalan dan rasa bersalah karena tidak menyelamatkan Husain. Selain itu ritual tersebut juga dianggap sebagai ritual penebusan dosa-dosa kelompok syi’ah. Ritual tersbut diadakan pada hari ke-9 dan ke-10 bulan Muharram. Melibatkan seluruh kalangan, pria, wanita, hingga anak-anak. Dengan memakai pakaian serba putih, para peserta mengikuti prosesi menggoreskan senjata tajam atau mencambuk tubuh sendiri hingga mereka berlumuran darah. Tak hanya mengalir ke badan, darah-darah kaum Syi’ah tersebut pun mengalir ke jalan-jalanan.

Sebelum ritual melukai diri dimulai, para peserta berkumpul pada pukul 06.00 waktu setempat untuk mendengarkan pidato pengisi khotbah yang menceritakan kisah Hussein dan penderitaan yang ia alami sebelum kematiannya. Menurut wartawan Aljazeera yang meliput ritual keagamaan tersebut, tepat saat pengkhotbah menceritakan kisah kematian Imam Hussein, sambil berteriak 'Haidar' para peserta mulai memukuli atau melukai kepala mereka hingga menimbulkan rasa sakit pada diri sendiri. Bahkan, anak-anak yang menghadiri ritual tersebut juga ikut melukai bagian kepala mereka dengan benda tajam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image