Kamis 21 Oct 2021 00:00 WIB

SKL Warga Maospati Ditahan RS, Ini Kata Dinkes Kota Surabaya

Warga Maospati tak bisa urus akta kelahiran anak karena SKL ditahan RS swasta.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya Febria Rachmanita (kedua kanan).
Foto: Republika/Dadang Kurnia
Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya Febria Rachmanita (kedua kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Dinas Kesehatan Kota Surabaya angkat bicara terkait permasalahan surat keterangan lahir (SKL) warga Maospati yang ditahan pihak rumah sakit karena tidak mampu membayar biaya persalinan. Sehingga, warga Maospati itu tidak bisa mengurus akta kelahiran.

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Surabaya Febria Rachmanita di Surabaya, Rabu (20/10), mengatakan, saat pasangan suami istri Agung Cahyono dan Silvia Damayanti warga Maospati ini datang ke Puskesmas Gundih pada 14 Agustus 2020 untuk melakukan pemeriksaan kehamilan, pasien sudah diberi rujukan agar ke RSUD dr Soewandhie.

Baca Juga

"Sebab, hasil pemeriksaan kehamilan di puskesmas, didapatkan pasien memiliki tekanan darah 140/80 MMHg, dengan diagnosa Pre Eklamsia," katanya.

Untuk itu, lanjut dia, puskesmas kemudian memberikan rujukan sesuai peraturan ke RSUD dr Soewandhie milik Pemkot Surabaya itu dengan alasan pasien terdaftar sebagai peserta BPJS PBI. Namun demikian, lanjut dia, ketika jadwal persalinan 30 September 2020 tiba, pasutri itu memilih untuk mendapatkan layanan ke rumah sakit swasta atas kemauannya sendiri.

"Sebelumnya, pihak rumah sakit swasta juga sudah menjelaskan kepada pasien terkait prosedur pelayanan dan pembiayaannya. Karena, rumah sakit itu sendiri belum bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, maka pasien setuju membayar deposit R p 4 juta," ujarnya.

Sesuai protap, kata dia, pihak rumah sakit swasta berkewajiban untuk melayani persalinan pasien tersebut. Pasien pun akhirnya melahirkan dengan Sectio Caesar. Ketika akan keluar rumah sakit dengan total biaya persalinan Rp 15,8 juta yang sudah dipotong deposit, rupanya pasien tidak mampu membayar. Pihak rumah sakit swasta pun tetap memberikan keringanan kepada pasien dengan cara mencicil selama 12 bulan.

"Pasien pun menyetujuinya dengan menandatangani surat persetujuan. Jadi setiap bulan pasien bisa mencicil Rp 300 ribu ke rumah sakit swasta tersebut selama 12 bulan," katanya.

Namun, kata Febria, itikad baik dari rumah sakit swasta, rupanya dilupakan oleh pasutri ini karena cicilan kedua dan seterusnya belum pernah dibayarkan. Terlebih pula, sejak Januari hingga 12 Oktober 2021, pihak rumah sakit tidak bisa menghubungi pasutri itu karena ponsel tidak aktif. Sehingga, komunikasi kemudian dilakukan melalui penghubung pasien.

"Tanggal 13 Oktober 2021, pihak rumah sakit kemudian menghubungi penghubung pasien untuk menanyakan sisa tagihan dan meminta pasutri untuk datang ke rumah sakit," katanya.

Diketahui, pasutri ini sempat mengadukan persoalan yang dialaminya ke Fraksi PDIP DPRD Kota Surabaya beberapa hari lalu. Pasutri ini mengaku gara-gara tidak mampu membayar biaya persalinan sebesar Rp 15 juta, SKL tertahan di sebuah rumah sakit.

Padahal, surat itu untuk mengurus akta kelahiran. Pada Agustus 2020, Silvia menjalani operasi sesar di salah satu rumah sakit swasta khusus ibu dan anak di Surabaya.

Pihak rumah sakit menyarankan operasi karena kondisi ibu berusia 21 tahun itu kritis. Namun, karena tidak menerima pasien BPJS Kesehatan, Silvia pun didata sebagai pasien umum.

Dalam surat persetujuan tersebut, tercantum estimasi biaya sebesar Rp 19 juta. Namun, pascaoperasi biayanya membengkak dari Rp 19 juta naik menjadi Rp 28 juta atau bertambah Rp 9 juta. Pasutri itu kaget karena biayanya membengkak.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement