Rabu 20 Oct 2021 00:15 WIB

AFP Sebut Azan Kebisingan, DMI: Itu Judul Provokatif

Kalau melihat paradigma di Indonesia, harus mengukurnya dari sudut pandang tradisi.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Agus Yulianto
Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia Imam Addaruqutni usai menemui Wapres Maruf Amin di Kantor Wapres, Jakarta, Senin (24/2).
Foto: Republika/Fauziah Mursid
Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia Imam Addaruqutni usai menemui Wapres Maruf Amin di Kantor Wapres, Jakarta, Senin (24/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Masjid Indonesia (DMI) merespon media asal Prancis, Agency France-Presse (AFP) yang menyebut suara azan di DKI Jakarta membuat kebisingan. DMI melihat, judul berita Piety or Noise Nuisance (kesalehan atau gangguan kebisingan) yang ditulis wartawan AFP, memang cukup provokatif.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) DMI, Imam Addaruqutni, mengatakan, judul berita yang provokatif itu memang khas pemberitaan yang dianggap menarik. Namun, kalau terkait azan dibuat seperti judul berita itu, sebenarnya kurang pas. Sebab, paradigma di Prancis dan Indonesia berbeda.

Dia menegaskan, kalau melihat paradigma di Indonesia, harus mengukurnya dari sudut pandang tradisi. "Saya ingin menegaskan apa yang disampaikan berita AFP di Prancis dalam beberapa hal cukup berlebihan, tetapi masuk akal untuk masyarakat kota, tapi beritanya dibombastis karena antara kesalehan dan kebisingan itu tak bisa dikaitkan," kata Imam kepada Republika, Selasa (19/10).

Dia mengatakan, memang memaklumi adanya proses transformasi menuju masyarakat kota di berbagai negara khususnya di Indonesia yang semakin memasuki dunia modern. Sehingga, ada perubahan yang terjadi dalam hal kemasyarakatan dan budaya.

 

Dikatakannya, jika ada masyarakat perkotaan yang ingin ada semacam pengaturan bagi masjid-masjid di kota besar, memang masuk akal. Mungkin mereka ingin semacam pengaturan untuk kenyamanan penduduk atau warga sekitar masjid.

"Ini karena pola kerja masyarakat di perkotaan beda dengan masyarakat di pedesaan," ujarnya.

Imam menjelaskan, masyarakat di pedesaan umumnya pola kerja diatur sendiri. Sementara masyarakat di perkotaan sudah menjadi masyarakat kerja. 

"Sistem jam kerjanya biasanya diatur oleh instansi tempat mereka bekerja. Sehingga waktu sibuk, waktu luang, dan istirahat sudah diatur," ujarnya.

Dia mengatakan, kemungkinan persoalan waktu istirahat mereka menjadi masalah saat dikaitkan dengan pengeras suara masjid-masjid. Misalnya, di DKI Jakarta, populasi masjid lebih dari 3.000 masjid, terjadi suara azan yang bersahut-sahutan. Di DKI Jakarta ini masyarakatnya sudah sangat padat, masjid juga padat, dan jam kerja masyarakat juga padat.

Dia mengungkapkan, maka DMI juga mulai memikirkan tentang kemungkinan diadakannya semacam azan sentralisasi di daerah kota besar yang satu waktu. Misalkan, azan dikumandangkan di Masjid Istiqlal atau masjid DKI Jakarta, kemudian disiarkan ke masjid-masjid se-DKI Jakarta. Sehingga waktu azan berkumandang berbarengan, dan tetap ada panggilan sholat bagi masyarakat.  

Terkait Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Dirjen Bimas) Islam Kemenag, Prof Kamaruddin Amin, yang mengatakan Instruksi Dirjen Bimas Islam Tahun 1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar dan Mushola masih relevan. Imam mengatakan, belum membaca Instruksi Dirjen Bimas Islam Tahun 1978 itu. Namun, menurutnya, tuntunan yang sudah berusia 40 tahun itu perlu dikaji lagi relevansinya dan kaitannya dengan masyarakat perkotaan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement