Kamis 14 Oct 2021 00:55 WIB

Kemenko PMK Respons Pernikahan Siswi SMP Putri Ketua MUI

Pemerintah menyesalkan terjadinya pernikahan siswi SMP anak ketua MUI di Maluku.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Mas Alamil Huda
Ilustrasi Pernikahan Dini
Foto: MGROL100
Ilustrasi Pernikahan Dini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK Femmy Eka Kartika Putri menyesalkan terjadinya pernikahan siswi SMP yang merupakan anak ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Buru Selatan, Maluku. Dia menuturkan, pemerintah telah berusaha mencegah terjadinya perkawinan anak untuk melindungi hak-hak anak dan melindungi masa depannya.

"Kemenko PMK dan kementerian/lembaga, mitra pembangunan telah melakukan upaya-upaya pencegahan perkawinan anak dengan berbagai program dan kegiatan," ujar Femmy di kantor Kemenko PMK, pada Rabu (13/10).

Selain itu, negara juga berperan, melalui beberapa regulasi, antara lain Undang-Undang No 16 Tahun 2019 sebagai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. "Dalam regulasi tersebut dijelaskan perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun," imbuhnya.

Lebih lanjut, menurut Femmy, perkawinan anak akan membawa dampak buruk baik dari sisi kesehatan, psikis, sosial, dan ekonomi. Negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak.

Termasuk di dalamnya memenuhi hak-hak anak, seperti yang tertuang pada Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. "Peran orang tua sebagai lingkungan utama dan utama anak juga seharusnya dapat mencegah perkawinan anak," sebutnya.

Baca juga : Mualaf Denny, Gemetar dan Pingsan Mendengar Suara Adzan

Femmy menjelaskan, terjadinya perkawinan anak kebanyakan disebabkan oleh faktor tradisi, budaya yang melanggengkan perkawinan anak, serta kurangnya pemahaman terkait batas usia perkawinan anak dan dampaknya.

"Tidak semua mengerti, tidak semua baca UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak. Masih ada pro kontra pemahaman pencegahan perkawinan anak. Padahal mandat dari negara tersebut harus dimengerti oleh masyarakat, termasuk orang tua, tokoh agama, tokoh masyarakat," jelasnya.

Selain itu, Femmy menuturkan, peran peer group atau kelompok sebaya bagi remaja juga sangat penting untuk membentengi terjadinya perkawinan anak, dengan saling mendukung kegiatan-kegiatan positif pada remaja.

Femmy menegaskan bahwa dalam masa pandemi Covid-19 ini anak-anak harus tetap sekolah. Walaupun belum bisa melakukan kegiatan bersama, anak-anak diharapkan memiliki kegiatan-kegiatan yang dapat mengoptimalisasi bakat-bakat mereka, baik secara daring dan luring terbatas. "Kesibukan tersebut akan membuat anak fokus terhadap masa depannya," ujarnya.

Deputi Femmy menerangkan, perkawinan anak korbannya adalah anak. Oleh sebab itu kepada anak sangat perlu terus menerus diberi edukasi yang tepat dan sesuai dengan usianya. Sosialisasi dalam bentuk edukasi tersebut diharapkan dapat mengoptimalisasi anak sebagai pelopor dan pelapor dalam pencegahan perkawinan anak. 

Femmy mengatakan, Kemenko PMK bersama K/L terkait dan mitra pembangunan akan terus berupaya mencegah perkawianan anak dan akan lebih menggencarkan sosialisasi pencegahan perkawinan anak kepada masyarakat luas setelah sosilasisasi kepada anak. Sosialisasi tersebut akan dilakukan bersama dengan kementerian/lembaga, mitra pembangunan dan organisasi keagamaan.

"Kemenko PMK merencanakan untuk melakukan soaisalisasi kepada lingkungan terdekat anak, yaitu kepada orang tua dan masyarakat, termasuk kepada tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat agar lebih memahami batas usia perkawinan dan memahami dampak buruk akibat perkawinan anak," pungkasnya.

Sebagai informasi, kasus perkawinan anak terjadi pada seorang siswi Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 01 Namrole, Buru Selatan, Maluku. Dia dinikahkan oleh ayahnya yang merupakan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Buru Selatan. Bahkan, pernikahan itu turut dihadiri oleh Kepala KUA. Kasus ini menuai kontroversi dan menjadi sorotan banyak pihak.

Imbas dari kasus ini, para pelajar SMP Negeri 01 Namrole menggelar aksi di depan kantor urusan agama dan kantor Bupati Buru Selatan. Mereka memprotes pernikahan anak yang dialami oleh teman mereka pelajar yang masih berusia 15 tahun. Dengan didampingi para guru, siswa-siswi ini menuntut perlindungan hak mereka sebagai anak dari tindakan orangtua yang belum memahami hak anak dan perlindungan anak.

Tindakan para pelajar tersebut menunjukkan bahwa mereka menyadari perkawinan anak belum sepantasnya terjadi pada usia remaja. Para pelajar tersebut sudah bisa dikategorikan sebagai agen perubahan dalam pencegahan perkawinan anak, sebagai pelopor, dan pelapor.

Femmy mengharapkan agar siswi SMP korban perkawinan anak tersebut dapat kembali bersekolah dan tidak ada lagi anak-anak yang dinikahkan oleh orang tuanya dengan berbagai macam alasan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement