Ahad 10 Oct 2021 05:29 WIB

Perlukah Anak-anak Kita Kembali Menyaksikan Film G30S/PKI?

Survei menyebut masyarakat melihat masih perlunya pemutaran film G30S/PKI.

Spanduk penolakan menonton film G30S/PKI terpasang di beberapa titik di Jakarta Pusat.
Foto: Istimewa
Spanduk penolakan menonton film G30S/PKI terpasang di beberapa titik di Jakarta Pusat.

Oleh : Ichsan Emrald Alamsyah, jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Apa yang muncul dalam benak anda ketika mendengar Film G30S/PKI? Bagi generasi Z, terutama yang lahir setelah tahun 1997, mungkin tidak bermakna apapun, atau malah menimbulkan rasa ingin tahu. Namun bagi yang menikmati masa kecil dan remaja di medio tahun 1980-an akhir hingga era-era menjelang Reformasi pasti tahu benar detail-detail film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI. Apalagi ketika itu, seperti ada aturan tidak tertulis untuk menyaksikan Film yang diG30S/PKI.

Setiap detail film, walau penulis tidak pernah menuntaskan film berdurasi total 4,5 jam tersebut, masih amat membekas dalam pikiran. Bagaimana awal film dilengkapi dengan bara api, penyerangan sekelompok orang menggunakan arit ke masjid yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Kanigoro di Kediri hingga backsound yang berulang-ulang menimbulkan kengerian. Presiden Sukarno, yang disebagian buku sejarah digambarkan gagah berwibawa, tampak terlihat sakit dan menua sementara Mayor Jenderal Soeharto tampak cermat dan tenang dikala negara dalam kondisi gawat. Tak lupa, para tokoh PKI yang dalam film ini digambarkan sebagai sosok antagonis, merupakan para perokok berat dan hobi minum kopi.

Bagi penulis secara pribadi film ini tidak hanya sekadar film dokudrama atau pendidikan seperti yang dicita-citakan sang sutradara Arifin C Noer. Akan tetapi lebih juga film thriller yang keesokan harinya bisa menjadi bahan obrolan dengan teman sekolah sebangku.

Hingga kemudian film yang selalu diputar setiap malam 30 September itu akhirnya berhenti ditayangkan TVRI di awal reformasi tepatnya tahun 1998.  Walau begitu gaungnya terus menghantui, tidak hanya sebagai tema diskusi namun juga ajang perdebatan jelang 30 September.

Pada tahun 2017 misalnya, Gatot Nurmantyo yang ketika itu masih menjabat Panglima TNI menginstruksikan seluruh TNI nonton film G30S/PKI. Uniknya, Presiden Joko Widodo ketika itu sempat ikut menyaksikan film tersebut.

Sementara tahun ini, film G30S ini kembali menjadi bahan perbincangan. Umumnya yang pro secara terang-terangan menginstruksikan berbagai pihak untuk menyaksikan G30 S PKI. Sedangkan yang menolak, tampaknya masih malu-malu menyuarakan pendapat. Mereka, yang mengaku menolak, lebih memilih memasang spanduk penolakan tanpa pernah mengaku siapa yang membuat.

Walau begitu tampaknya mayoritas masyarakat ingin kembali menyaksikan Film G30S/PKI. Hal ini tercermin dari survei lembaga Media Survei Nasional (Median).

Dikutip dari Republika.co.id, Media Survei Nasional (Median) melaporkan hasil survei persepsi publik terhadap  perdebatan terkait perlu tidaknya film G30S/PKI diputar kembali. Direktur Eksekutif Median, Rico Marbun, mengungkapkan sebanyak 42 persen menginginkan film G30S/PKI diputar kembali.
 
Sementara responden yang menjawab tidak setuju film diputar kembali hanya 15 persen. Sedangkan yang menjawab tidak tahu 43 persen. Rico menyimpulkan gerakan pemutaran kembali film G30S/PKI mendapat persetujuan dari mayoritas publik.
 
Untuk diketahui pengambilan data survei tersebut dilakukan pada 19-26 Agustus 2021. Responden yang dilibatkan dalam survei itu sebanyak 1.000 responden dengan margin of error sebesar +/- 3 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
 
Hanya saja bagi penulis timbul pertanyaan, perlukah kembali anak-anak kita menyaksikan film G30S/PKI? apa yang menjadi urgensi bagi masyarakat menyaksikan film ini?
Pendapat soal kemungkinan kebangkitan paham Komunisme memang tampak masuk akal. Ketua MUI Bidang Pengkajian dan Penelitian MUI, Prof Utang Ranuwijaya, misalnya mengatakan kebangkitan PKI bukanlah masalah utama yang harus dikhawatirkan. Karena kelompok tersebut secara resmi telah bubar dan dilarang secara resmi di Indonesia.
Akan tetapi, menurut dia yang perlu dikhawatirkan adalah paham komunismenya. Karena -isme, ucap dia, tidak akan pernah hilang alias lekang selamanya.
 
Dia juga menjelaskan ada beberapa cara yang bisa dilakukan agar paham komunis tidak beredar kembali di Indonesia. Seperti menayangkan kembali film tentang G30S PKI atau metode lain yang bisa mengedukasi masyarakat tentang bahaya komunisme.
 
Generasi muda juga disebutnya harus diberi pengertian bahwa komunisme tidak sejalan dengan jati diri bangsa Indonesia. Entah dalam pandangan agama, UUD 1945 atau Pancasila, komunisme tidak sejalan dengan dengan semua falsafah tersebut.
 
Pendampingan orang tua
 
Meski film bisa menjadi media terbaik untuk menyampaikan ide, namun penulis menilai anak tidak bisa dibiarkan sendiri menyaksikan film G30S/PKI. Meski ditayangkan pada malam hari namun bukan tidak mungkin anak-anak atau remaja menyaksikan film ini. Apalagi ada beberapa adegan tampak cukup brutal terutama penembakan para jenderal orang pasukan penjemput.
 
Malah akan lebih baik bila film ini diberi rating 18+ dalam artian bukan karena adanya adegan vulgar akan tetapi karena beratnya tema yang diangkat dalam film. Apalagi film ini terbilang panjang sehingga tidak terlalu nyaman disaksikan anak maupun remaja.
 
Rating juga bisa menjadi penanda bahwa film ini layak disaksikan bagi mereka yang sudah ada di level pemikiran matang atau setingkat mahasiswa. Sehingga film ini kembali seperti keinginan sang pembuat Arifin C Noer, menjadi sarana pendidikan masyarakat Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement