Jumat 08 Oct 2021 09:24 WIB

Inggris Cabut Ketentuan Karantina untuk Turis dari 47 Negara

Persyaratan karantina nantinya hanya diperlukan bagi kedatangan dari tujuh negara.

Rep: Puti Almas/ Red: Friska Yolandha
Aktivitas di salah satu jalan di Kota London, Inggris, Senin (2/11). Pemerintah Inggris berencana untuk tidak lagi memberlakukan ketentuan karantina bagi pelancong dari 47 negara.
Foto: AP Photo/Matt Dunham
Aktivitas di salah satu jalan di Kota London, Inggris, Senin (2/11). Pemerintah Inggris berencana untuk tidak lagi memberlakukan ketentuan karantina bagi pelancong dari 47 negara.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Pemerintah Inggris berencana untuk tidak lagi memberlakukan ketentuan karantina bagi pelancong dari 47 negara. Menteri Transportasi Grant Shapps mengumumkan bahwa persyaratan karantina nantinya hanya diperlukan bagi kedatangan dari tujuh negara. 

Dalam aturan pembatasan perjalanan Inggris, orang-orang yang datang dari negara yang berada dalam daftar merah harus melakukan karantina di hotel yang ditentukan selama 10 hari, dengan biaya 3,095 dolar AS per orang dewasa. 

Baca Juga

“Nantinya pelancong yang mengunjungi Inggris memiliki persyaratan masuk yang lebih sedikit,” ujar Shapps dałam sebuah pernyataan, dilansir CGTN, Jumat (8/10). 

Dengan demikian, Shapps menuturkan bahwa orang-orang yang memiliki status vaksinasi penuh dari 37 negara dan wilayah baru termasuk India, Turki dan Ghana, akan diperlakukan sama seperti penumpang Inggris yang sudah mendapatkan vaksin untuk mencegah infeksi virus corona jenis baru (COVID-19) dosis penuh. Langkah-langkah yang diumumkan menandai bagaimana Inggris berupaya membuka kembali negara untuk orang-orang yang melakukan perjalanan dari seluruh dunia. 

“Kami akan terus membuka perjalanan dan memberikan stabilitas bagi penumpang dan industri sambil tetap berada di jalur untuk menjaga perjalanan tetap terbuka untuk selamanya,” jelas Shapps. 

Industri perjalanan Inggris telah terdampak besar karena pandemi COVID-19. Maskapai penerbangan seperti Ryanair dan easyJet berpendapat pembatasan perjalanan negara itu telah menyebabkan pemulihan industri tertinggal di belakang rekan-rekannya di Eropa.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement