Kamis 07 Oct 2021 14:23 WIB

UU Perpajakan Sah, Tax Amnesty Kedua Siap Dijalankan

Pengampunan pajak mulai 1 Januari 2022 mendatang.

Rep: Novita Intan/ Red: Fuji Pratiwi
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan pada layar) menghadiri secara virtual Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/10). Rapat paripurna tersebut salah satunya mengesahkan RUU HPP menjadi undang-undang.
Foto: ANTARA/Aprillio Akbar
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan pada layar) menghadiri secara virtual Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/10). Rapat paripurna tersebut salah satunya mengesahkan RUU HPP menjadi undang-undang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan rancangan undang-undang tentang harmonisasi peraturan perpajakan (RUU HPP) menjadi undang-undang (UU). Adapun pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR, Muhaimin Iskandar.

"Apakah RUU tentang HPP dapat disetujui dan disahkan menjadi undang-undang?" kata Muhaimin saat rapat paripurna secara virtual, Kamis (7/10).

Baca Juga

"Setuju," jawab anggota rapat paripurna.

Sementara itu Wakil Ketua Komisi XI Dolfie menyampaikan laporan hasil pembahasan RUU HPP. Adapun RUU HPP mulai dibahas Komisi XI pada 28 Juni 2021 dengan melaksanakan rapat kerja bersama Menteri Keuangan dan Menkum HAM dengan agenda membentuk panitia kerja RUU tentang KUP.

"Selanjutnya Panja melakukan pembahasan daftar isian masalah (DIM)," kata Dofie.

Dalam dari RUU tersebut, pemerintah dan DPR sepakat untuk mengatur beberapa hal terkait perpajakan. Salah satunya program pengampunan pajak mulai 1 Januari 2022 mendatang. Adanya program tersebut, wajib pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan kepada negara.

Nantinya, setiap wajib pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang direktur jenderal pajak belum menemukan data atau informasi mengenai harta yang dimaksud. Harta bersih yang dimaksud tersebut adalah nilai harta dikurangi dengan nilai utang. Hal itu seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.

Harta yang dilaporkan merupakan aset yang diperoleh wajib pajak sejak 1 Januari 1985 sampai 31 Desember 2015. Nantinya, harta bersih itu akan dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenakan pajak penghasilan (PPh) final.

PPh final akan dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak. Adapun tarif itu terdiri dari enam persen atas harta bersih yang berada di dalam negeri dan diinvestasikan kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam (SDA) atau sektor energi baru terbarukan (EBT), serta surat berharga negara (SBN).

Lalu, sebesar delapan persen atas harta bersih yang berada di dalam negeri dan tidak diinvestasikan sektor SDA, EBT, dan SBN. Selanjutnya, sebesar enam persen atas harta bersih yang berada di luar Indonesia dengan ketentuan akan dialihkan ke dalam wilayah Indonesia serta diinvestasikan sektor SDA, EBT, dan SBN.

Sementara, sebesar delapan persen atas harta bersih yang berada di luar Indonesia dengan ketentuan dialihkan ke Indonesia, tetapi tak diinvestasikan ke sektor SDA, EBT, dan SBN. Kemudian, sebesar 11 persen atas harta bersih yang berada di luar Indonesia dan tak dialihkan ke Indonesia.

Kemudian, pemerintah juga akan mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) ke beberapa barang dan jasa yang sebelumnya dibebaskan dari pajak, salah satunya barang kebutuhan pokok. Lalu, jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, serta jasa pengiriman uang dengan wesel pos.

Tak hanya itu, pemerintah juga akan mengerek tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen. Hal ini berlaku mulai 1 April 2022.

Selanjutnya, pemerintah akan menaikkan lagi tarif PPN menjadi 12 persen. Rencananya, tarif ini akan berlaku mulai 1 Januari 2025.

Namun, pemerintah masih membuka opsi penetapan tarif PPN sebesar 11 persen pada 2022 dan sebesar 12 persen pada 2025 bisa diubah ke skema rentang tarif. Adapun rentangnya, yaitu paling rendah lima persen dan paling tinggi 15 persen.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement