Rabu 06 Oct 2021 08:21 WIB

DPD RI: Rumah Keindonesiaan Bak Gadis Belia Ranum

Mewujudkan DPD sebagai rumah keindonesiaan.

Presiden Joko Widodo memberikan pidato dalam rangka penyampaian laporan kinerja lembaga-lembaga negara dan pidato dalam rangka HUT ke 76 Kemerdekaan RI pada sidang tahunan MPR dan Sidang bersama DPR-DPD di Komplek, Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/8).Prayogi/Republika.
Foto: Prayogi/Republika.
Presiden Joko Widodo memberikan pidato dalam rangka penyampaian laporan kinerja lembaga-lembaga negara dan pidato dalam rangka HUT ke 76 Kemerdekaan RI pada sidang tahunan MPR dan Sidang bersama DPR-DPD di Komplek, Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/8).Prayogi/Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, DPD RI : Oleh : DR Abdul Kholik Anggota DPD RI-MPR-RI Dapil Jateng

Tepat 1 Oktober, 2021, DPD RI (DPD) memasuki usia 17 tahun. Dihitung sejak periode pertama keanggotaan dilantik. Perspektif konstitusi, usia DPD  lebih dari itu karena lahir melalui perubahan ketiga UUD NRI tahun 1945, yang dilakukan pada kurun waktu 1999-2002. Apapun, setiap momentum kelahiran setidaknya memberikan dua makna penting, yaitu refleksi melihat capaian kinerja, dan proyeksi melihat apa yang harus dilakukan ke depan untuk kontribusi dan fungsi lebih baik lagi.

Refleksi terhadap peran dan fungsi harus secara obyektifi menemukan realitas kelembagaan DPD dinilai masih lemah, karena penerapan sistem bikameral (dua kamar)  yang berlaku hanya melahirkan relasi timpang. DPR dalam posisi yang sangat kuat sementara DPD dibatasi, tanpa kekuatan yang seimbang untuk membangun chek and balance dalam pengambilan keputusan di parlemen. Meski begitu, fakta kewenangan yang terbatas, justru memberikan keuntungan lebih “steril,” sehingga dalam survey tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara posisinya lebih baik dari “suadara tua”-nya. 

Pada dasarnya, gagasan pembentukan DPD dilandasi pemikiran urgensi pelembagaan perwakilan/fraksi utusan daerah yang semula ada di MPR. Diyakini sebagai koreksi sistem perwakilan yang sebelumnya berlaku, model bikameral  lebih sesuai untuk diterapkan di negara besar dan beragam seperti Indonesia dimana ada  satu perwakilan berbasis orang/penduduk yaitu DPR, dan DPD sebagai perwakilan berbasis wilayah. Tujuanya tidak lain adalah memperkuat legitimasi karena menghadirkan keterwakilan yang bersumber pada pilar terbentuknya negara yaitu, penduduk dan wilayah, sehingga semua terwakili.  

Ketika pembahasan dibentuknya DPD terjadi perbedaan pandangan yang tajam. Kelompok progresif di MPR saat itu menghendaki parlemen bikameral yang kuat (strong bicameral) dimana satu kedua kamar kamar setara dan saling mengimbangi. Kelompok konservatif, bersikap sebaliknya tidak mengehendaki ada DPD karena khawatir akan menggerus kamar yang ada, dan negara mengarah menjadi bentuk federal, karena rujukannya adalah parktik bikameral di Amerika Serikat. Kelompok moderat mengambil jalan tengah, setuju dibentuk DPD namun dengan kewenangan dibatasi (soft bicameral). Inilah yang kemudian dipilih dan menjadi keputusan MPR dalam Pasal 22D UUD NRI Tahun 1945. 

Meski dari segi status dan kedudukan setara sebagai lembaga tinggi negara lapis pertama, karena dibentuk langsung oleh konstitusi, tapi kewenangannya belum sebanding. Memang DPD diberikan kewenangan legislasi, anggaran, dan pengawasan,  namun semuanya dilakukan melalui DPR baik dalam bentuk pertimbangan RAPBN maupun pandangan terhadap terhadap suatu RUU yang masuk ranah kewenangan DPD, utamanya terkait lingkup otonomi daerah, hubungan pusat-daerah, pemekaran, penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam, pajak, pendididkan dan agama. 

Sinergitas Kelembagaan

Kalauah ia seorang gadis, usia tujuh belas tahun adalah masa awal memasuki remaja dan layaknya bunga mekar di taman sari, menebar keharuman dengan kehadiranya.

Tapi DPD tetap lembaga negara dimana peran, kedudukan, dan fungsinya akan tergantung relasi kuasa parlemen. Perspektif teoritik, implementasi konstitusi akan ditentukan oleh peran aktor/lembaga negara, yang secara faktual  punya kuasa lebih mengejawantahkan konstitusi. DPR sebagai pembentuk undang-undang mendominasi tafsir kewenangan DPD sehingga tiga periode  berjalan terjadi tarik menarik DPD dengan DPR.

Jika dikontruksikan, dalam tiga periode tampak sebagai berikut. Periode pertama, era persuasif dalam memperjuangkan eksistensi. Dimulai dengan upaya meluruskan kembali konstitusi melalui usulan amandemen. Selain itu juga dilakukan pendekatan untuk menyusun tatib bersama untuk mewadahi format hubungan kerja yang seimbang dengan DPR.

Awalnya, usulan amandemen mendapat dukungan dari berbagai fraksi, hingga mencapai  sepertiga anggota MPR. Namun ujungnya kandas setelah  sejumlah fraksi menarik dukungan, karena khawatir akan menyaingi dan menggerus kewenangan DPR, memperpanjang pengambilan keputusan, bahkan berpotensi terjadi deadlock diantara dua kamar. 

Periode kedua, masuk fase konfrontatif. Pasca kegagalan upaya persuasif dan kandasnya usulan amandemen, serta tidak diakomodasinya tatib bersama, semakin tinggi tensi hubungan DPR-DPD. Ditambah lagi, pelaksanaan fungsi legislasi dan anggaran DPD tetap tersubordinasi. Mulailah genderang perlawanan ditabuh. DPD “menggugat” DPR melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap dua produk DPR yaitu UU MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) dan UU PPP (Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).  

Hasilnya dua putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 dan Nomor 79/PUU-XII/2014 mengabulkan sebagian permohonan yang memposisikan DPD sebagai lembaga yang setara dengan DPR sehingga semua pelaksanaan tugas dan fungsi melalui prosedur kelembagaan, tidak lagi menjadi subordinasi, dan memiliki kemandirian.

Pelaksanaan fungsi legislasi dilakukan secara tri partit, yang menempatkan DPD, DPR, dan Presiden dalam relasi yang setara. Namun keterlibatan DPD tetap hanya pada pembahasan tidak terlibat pengambilan keputusan akhir di tingkat 1. Disinilah letak kelemahan putusan MK, karena membuyarkan kembali perjuangan agar DPD untuk ikut memutuskan dalam pembahasan RUU. 

Periode ketiga, mengarah pada upaya sinergitas. Bentuk hubungan sinergis tampak kuat dalam proses penyusunan Prolegnas dimana DPD, Pemerintah, dan DPR secara harmonis membahas dan menetapkan Prolegnas. Setiap tahun, sejak tahun 2014, minimal 1 RUU Prioritas dari DPD RI.

Hanya saja keharmonisan belum berlaku pada pembahasan RUU di komisi atau Pansus. Periode ini juga ditandai “pemberian” dua kewenangan baru dari UU MD3 yang dibahas di Baleg yaitu pemantauan dan evaluasi Perda dan Raperda, serta dari UU Nomor 15 Tahun 2019 berupa Pemantauan dan Peninjauan kembali undang-undang. 

Tampak jelas ada upaya DPR berbagi kewenangan secara bertahap kepada DPD. Ini mencerminkan sikap DPR sesunguhnya  ingin membangun relasi kamar dengan tetap mengutamakan keharmonisan dan efektiftas dalam menjalankan fungsi parlemen. Mungkin tidak ideal bagi DPD, namun mungkin ini  yang realistis.

Sejalan dengan penataan kewenangan yang lebih komprehensif, sinergitas ini layak terus diperkuat pada aspek-aspek yang lain. Sebab masih dalam tahap “proses menjadi” yang membutuhkan waktu dan pembuktian. Konfrontasi, hanya menghabiskan energi, dan justru menimbulkan resistensi. 

DPD juga perlu membangun soliditas konsepsi dan peta jalan perjuangan menata kewenangan agar dipahami sebagai agenda berkesinambungan antar periode. Tidak kalah penting penataan mekanisme internal agar semakin kompatibel dengan kebutuhan parlemen moderen yang efektif. Sebutan 136 fraksi selain mencerminkan kekuatan jumlah, namun melemahkan ketika dihadapkan mekanisme pengambilan keputusan.

Seperti terjadi pada respon konsep penataan kewenangan DPD untuk menyetujui program RAPBN, pihak lain menganggap akan sangat sulit terjadi keputusan, dan menolak wacana tersebut. Padahal sesuai tupoksi menjawab aspirasi daerah maupun kebutuhan DPD ke depan. 

Maka melembagakan kelompok provinsi sebagai basis putusan lembaga sepertinya lebih kompatibel, sesuai Tatib serta untuk menghindari potensi oligarkhi internal kelembagaan. Sekaligus ini sejalan dengan modal sosial yang dimiliki, karena DPD berisi perwakilan seluruh provinsi.

Jadi jika ingin melihat keragaman Indonesia, itu tercermin dalam keanggotaan DPD. Itulah mengapa DPD layak disebut sebagai Rumah Keindonesiaan, miniatur bangsa yang harus dijaga dan difungsikan. Dirgahayu DPD RI ke 17.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement