Senin 04 Oct 2021 16:31 WIB

Melirik Manfaat Menjanjikan Molnupiravir

Studi tunjukkan efek molnupiravir konsisten pada berbagai varian Covid-19.

Molnupiravir berpotensi jadi obat antivirus oral pertama untuk pengobatan pasien Covid-19.
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Molnupiravir berpotensi jadi obat antivirus oral pertama untuk pengobatan pasien Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Muhyiddin

Upaya menemukan pengobatan bagi Covid-19 terus dikembangkan. Terbaru, muncul molnupiravir merek dari obat oral yang menunjukkan hasil positif bagi pengobatan virus corona.

Baca Juga

Juru bicara vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan dr Siti Nadia Tarmizi menanggapi positif obat Covid-19 buatan perusahaan asal Amerika Serikat (AS), molnupiravir. Menurut dia, khasiat molnupiravir cukup menjanjikan.

Perusahaan farmasi AS Merck mengembangkan obat Covid-19 yang diklaim dapat menurunkan risiko keparahan Covid-19. Merck baru saja mempublikasikan obat Covid-19 eksperimental bermerek molnupiravir  menunjukkan hasil positif melawan virus corona jenis baru. 

"Kalau info awal dari Merck iya (cukup menjanjikan). Tapi kita tunggu hasil publikasi ilmiahnya juga ya," kata dr Nadia kepada Republika, Senin (4/10).

Walau demikian, dokter Nadia menyatakan pemerintah belum melakukan pembicaraan lebih dalam mengenai kemungkinan membeli obat oral Covid-19 merek molnupiravir. Pihaknya masih menunggu kepastian hasil uji klinis molnupiravir secara komprehensif. "Kita tunggu selesainya hasil uji klinisnya," ujar dr Nadia

Dokter Nadia terus mengimbau masyarakat mematuhi protokol kesehatan (prokes) guna mencegah penularan Covid-19 walau di dunia sudah ada vaksin dan obat Covid-19. "Tetap memakai masker, rajin mencuci tangan dan menjaga jarak," imbau dokter Nadia.

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, meminta masyarakat tak bersuka cita berlebihan dalam merespons molnupiravir. Ia menekankan obat bukanlah satu-satunya solusi menghadapi pandemi Covid-19.

"Sampai saat ini jangankan obat, vaksin saja tidak bisa selesaikan pandemi. Obat itu kuratif di bagian hilir (perawatan). Perannya obat ini tetap ada, tapi jangan euforia," kata Dicky kepada Republika, Senin (4/10).

Dicky mengimbau semua pihak tetap menjalankan 3T dan 5M walau sudah ada vaksin dan obat Covid-19. Langkah ini diperlukan guna menjaga rendahnya kasus Covid-19 di Tanah Air. "Mau ada obat ini, mau ada vaksin, 3T 5M tetap terus karena kalau tidak maka banyak kasus lagi walau ada obatnya," ucap Dicky.

Dicky juga mewanti-wanti masyarakat agar tak menurunkan kewaspadaan pencegahan Covid-19. Sebab mereka yang pernah terjangkit Covid-19 berpeluang mengalami gangguan kesehatan secara kontinu bahkan pascasembuh dari Covid-19.

"Harus dipahami infeksi Covid-19 ada yang sepertiganya dari yang pulih berpotensi alami long Covid. 70 persen dari sepertiga itu alami setidaknya satu organ vital rusak antara jantung, paru, ginjal, hati. Upaya cegah orang terinfeksi itu tetap yang utama," ucap Dicky. 

Munculnya molnupiravir juga mendapat perhatian Guru Besar FKUI Tjandra Yoga Aditama. Ia menyebut molnupiravir ialah obat antiviral yang dalam hasil penelitian interimnya menunjukkan penurunan sebesar 50 persen angka perawatan di rumah sakit serta juga mencegah kematian akibat Covid-19, pada pasien derajat ringan dan sedang. 

Datanya menunjukkan 7,3 persen pasien (28 orang) yang mendapat molnupiravir dirawat di rumah sakit sampai hari ke-29 penelitian.  Sementara itu, pada mereka yang tidak mendapat molnupiravir atau dapat plasebo saja ada 53 orang (14,1 persen) yang harus masuk RS. Selain data masuk RS, pada mereka yang tidak dapat molnupiravir ada delapan orang yang meninggal. 

"Dari yang mendapat molnupiravir memang tidak ada yang meninggal sampai hari ke-29 penelitian ini dilakukan," kata Prof Tjandra dalam keterangan pers.

Prof Tjandra mengamati sampel penelitian molnupiravir Covid-19 mereka yang bergejala ringan dan sedang, dengan onset gejala paling lama lima hari. Hasil penelitian ini juga menunjukkan data pada 40 persen sampelnya bahwa efikasi molnupiravir bisa konsisten pada berbagai varian yang ditemukan, yaitu Gamma, Delta, dan Mu. 

"Secara umum efek samping adalah seimbang antara yang dapat molnupiravir dan plasebo, yaitu 35 persen dan 40 persen. Sampel penelitian ini mempunyai setidaknya satu faktor risiko, atau yang biasa kita kenal dengan komorbid. Yang paling sering adalah obesitas, diabetes mellitus, penyakit jantung dan juga usia tua (di atas 60 tahun)," ujar mantan Direktur WHO Asia Tenggara itu.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement