Senin 04 Oct 2021 13:41 WIB

Suku Moi Trauma, 'Perusahaan Sawit Kasih Kami Miskin'

Mereka (Suku Moi) tak lagi bisa memenuhi kebutuhan hidup dari hutan.

Rep: Febryan. A/ Red: Agus Yulianto
Warga berdiri di lokasi perumahan bantuan warga asli suku Moi di Kampung Klatifi, Kota Sorong, Papua Barat, Jumat (18/6/21). Pemerintah Kota Sorong membangun 28 unit perumahan tipe 45 bagi warga asli suku Moi yang selama ini hidup termarginalkan di wilayah setempat.
Foto: ANTARA/Olha Mulalinda
Warga berdiri di lokasi perumahan bantuan warga asli suku Moi di Kampung Klatifi, Kota Sorong, Papua Barat, Jumat (18/6/21). Pemerintah Kota Sorong membangun 28 unit perumahan tipe 45 bagi warga asli suku Moi yang selama ini hidup termarginalkan di wilayah setempat.

REPUBLIKA.CO.ID, Sebuah perusahaan berjanji membuatkan rumah dan memberikan mobil jika Marga Wulimpa menyerahkan ribuan hektare hutan adatnya untuk perkebunan sawit. Setelah enam tahun berselang, janji-janji itu tak kunjung berwujud meski hutan telah dibabat habis.

Demikian pengalaman Marga Wulimpa, salah satu marga dalam suku Moi, sebagaimana disampaikan oleh Mateus Yempolo (69 tahun). Mateus mengetahui hal itu lantaran istrinya bermarga Wulimpa. Mateus merupakan Ketua Adat Kampung Maladofok, Distrik Sayosa, Kabupaten Sorong, Papua Barat.

Lantaran sudah melihat bagaimana janji palsu perusahaan sawit, Mateus tegas menolak ketika sebuah perusahaan meminta hutan adat Marga Yempolo. Apalagi janji yang disampaikan serupa.

"Bapak, ini kelapa sawit bagus. Kalau sudah terima masuk, kami akan membangunkan rumah tembok langsung, kamar mandinya di dalam, dan mobil juga," kata Mateus menirukan ucapan pihak perusahaan sawit kepadanya, Selasa (28/9). Terang saja, Mateus menolak.

Marga Gisim di Distrik Klamono, Kabupaten Sorong, juga bernasib apes setelah menyerahkan hutan adatnya kepada sebuah perusahaan sawit. Setiap bulan, marga ini mendapatkan jatah bagi hasil kebun plasma sebesar Rp 60 juta.

"Kalau dibagi rata kepada setiap anggota marga, itu hanya dapat Rp 700 ribu," kata Salmon Malagilik (58 tahun) di kediamannya di Distrik Klamono, Selasa (28/9). Salmon mengetahui, hal ini, karena ibunya bermarga Gisim dan kerap membantu marga Gisim berurusan dengan pihak perusahaan.

Salmon menyebut, pembagian Rp 700 ribu per orang itu terlalu kecil dan hanyalah "uang sayur" semata. Sebab, uang itu hanya bisa digunakan untuk sebagian keperluan dasar saja. Tak akan cukup jika turut digunakan untuk biaya pendidikan anak. Di sisi lain, mereka tak lagi bisa memenuhi kebutuhan hidup dari hutan.

Setelah melihat kenyataan itu, Salmon "trauma" berurusan dengan perusahaan sawit. Dai pun tegas menolak tawaran korporasi sawit yang hendak mengambil hutan adat Marga Malagilik.

"Kami marga Malagilik tidak setuju dengan perkebunan sawit. Perusahaan kelapa sawit itu, dia bawa kekayaan kami, (tapi) dia kasih kami miskin," imbuh Oktovina Malagilik (37), anak dari Salmon.

Bahkan, anak Oktovina yang baru berusia tujuh tahun juga tak mau hutan diubah menjadi kebun sawit. Suatu waktu, sang anak yang bernama Agustinus itu bertanya, kenapa banyak orang datang ke rumahnya. Oktovina lantas menjelaskan bahwa orang itu datang terkait pelepasan hutan adat menjadi perkebunan sawit.

"Aduh mama saya tidak mau kelapa sawit karena saya lihat (di perkebunan sawit) itu tidak ada burung. Kalau musim buah-buahan, kita tidak makan langsat, tidak makan cempedak," kata Oktovina menirukan ucapan putraya itu.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement