Sabtu 02 Oct 2021 19:24 WIB

Bupati HSU Diperiksa Soal Pengaturan Lelang Proyek

KPK menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa.

Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) Kalimantan Selatan Abdul Wahid meninggalkan Gedung Merah Putih KPK usai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Jumat (1/10/2021). Abdul Wahid diperiksa sebagai saksi terkait kasus dugaan korupsi proyek pembangunan di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan Tahun 2021-2022, yang menjerat Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Pertanahan (PUPRP) Hulu Sungai Utara (HSU) Maliki, serta dua orang kontraktor M arhaini dan Fachriadi dalam OTT KPK pertengahan September 2021 lalu.
Foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) Kalimantan Selatan Abdul Wahid meninggalkan Gedung Merah Putih KPK usai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Jumat (1/10/2021). Abdul Wahid diperiksa sebagai saksi terkait kasus dugaan korupsi proyek pembangunan di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan Tahun 2021-2022, yang menjerat Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Pertanahan (PUPRP) Hulu Sungai Utara (HSU) Maliki, serta dua orang kontraktor M arhaini dan Fachriadi dalam OTT KPK pertengahan September 2021 lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) Abdul Wahid mengenai dugaan adanya pengaturan lelang proyek pada Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Pertanahan (PUPRP) Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. KPK, Jumat (1/10), memeriksa Abdul Wahid sebagai saksi untuk tersangka Pelaksana Tugas Kepala Dinas PU pada Dinas PUPRP Kabupaten Hulu Sungai Utara Maliki (MK) dan kawan-kawan dalam penyidikan kasus dugaan suap terkait pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Hulu Sungai Utara 2021-2022.

"Yang bersangkutan hadir dan dikonfirmasi pengetahuannya antara lain terkait dengan dugaan adanya pengaturan lelang pekerjaan dan permintaan komitmen 'fee'untuk beberapa proyek pada Dinas PUPRP di Kabupaten Hulu Sungai Utara yang dilakukan oleh tersangka MK dan pihak terkait lainnya," kata Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, di Jakarta, Sabtu (2/10).

Selain itu, kata dia, KPK juga mengonfirmasi Abdul Wahid perihal adanya barang bukti sejumlah uang yang ditemukan dan diamankan pada saat penggeledahan oleh tim KPK beberapa waktu lalu. Sebelumnya, tim KPK telah menggeledah rumah dinas Bupati Hulu Sungai Utara, Ahad (19/9), dan Kantor Bupati Hulu Sungai Utara, Selasa (21/9).

Dari penggeledahan itu, tim KPK menemukan dan mengamankan dokumen, uang, dan barang elektronik. KPK, Kamis (16/9), telah menetapkan tiga tersangka kasus tersebut. Sebagai penerima, yakni Maliki (MK). Sedangkan sebagai pemberi, yaitu Marhaini (MRH) dari pihak swasta/Direktur CV Hanamas dan Fachriadi (FH) dari pihak swasta/Direktur CV Kalpataru.

Dalam konstruksi perkara, KPK menjelaskan Dinas PUPRP Kabupaten Hulu Sungai Utara telah merencanakan untuk dilakukan lelang proyek irigasi. Yaitu rehabilitasi jaringan irigasi Daerah Irigasi Rawa (DIR) Kayakah, Desa Kayakah, Kecamatan Amuntai Selatan dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) Rp 1,9 miliar, dan rehabilitasi jaringan irigasi DIR Banjang, Desa Karias Dalam, Kecamatan Banjang dengan HPS Rp 1,5 miliar.

Sebelum lelang ditayangkan di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), Maliki diduga telah lebih dulu memberikan persyaratan lelang pada Marhaini dan Fachriadi sebagai calon pemenang dua proyek irigasi tersebut, dengan kesepakatan memberikan sejumlah uang komitmen fee 15 persen. Saat penetapan pemenang lelang untuk proyek rehabilitasi jaringan irigasi DIR Kayakah, Desa Kayakah, Kecamatan Amuntai Selatan dimenangkan oleh CV Hanamas milik Marhaini dengan nilai kontrak Rp 1,9 miliar dan proyek rehabilitasi jaringan Irigasi DIR Banjang, Desa Karias Dalam, Kecamatan Banjang dimenangkan CV Kalpataru milik Fachriadi dengan nilai kontrak Rp 1,9 miliar.

Setelah semua administrasi kontrak pekerjaan selesai, lalu diterbitkan surat perintah membayar pencairan uang muka yang ditindaklanjuti Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) dengan menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) untuk pencairan uang CV Hanamas dan CV Kalpataru yang dilakukan Mujib sebagai orang kepercayaan Marhaini dan Fachriadi. Sebagian pencairan uang tersebut, selanjutnya diduga diberikan kepada Maliki yang diserahkan Mujib sejumlah Rp 170 juta dan 175 juta dalam bentuk tunai.

Sebagai pemberi, Marhaini dan Fachriadi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 KUHP. Sedangkan Maliki disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 KUHP jo Pasal 65 KUHP.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement