Jumat 01 Oct 2021 22:28 WIB

Mengapa Isu Kebangkitan PKI Muncul Setiap Tahun?

Isu kebangkitan PKI muncul setiap tahun.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Muhammad Hafil
Mengapa Isu Kebangkitan PKI Muncul Setiap Tahun?. Foto: Pengunjung saat berwisata di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta, Jumat (1/10). Pada Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober sejumlah warga mengunjungi Monumen Pancasila Sakti untuk berwisata dan mengenang tujuh pahlawan revolusi yang gugur pada peristiwa G30S/PKI. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Mengapa Isu Kebangkitan PKI Muncul Setiap Tahun?. Foto: Pengunjung saat berwisata di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta, Jumat (1/10). Pada Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober sejumlah warga mengunjungi Monumen Pancasila Sakti untuk berwisata dan mengenang tujuh pahlawan revolusi yang gugur pada peristiwa G30S/PKI. Republika/Putra M. Akbar

IHRAM.CO.ID, JAKARTA – Setiap tahunnya menjelang 30 September, isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) terus muncul dan menjadi pembicaraan publik. Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan, ada pihak yang memainkan isu tersebut dengan membawa dua faktor yakni agama (faith) dan ketakutan (fear).

“Isu-isu tentang kebangkitan PKI itu menjadi marak setiap tahunnya yak arena memainkan dua faktor itu yaitu faith dan fear,” ujar Beka dalam acara rilis hasil survei SMRC secara daring, Jumat (1/10).

Baca Juga

Dia menuturkan, agama dan ketakutan itu membangkitkan emosi sekaligus membentuk persepsi publik mengenai kebangkitan PKI. Narasi yang kerap dibangun ialah PKI bertentangan dengan agama ditambah ancaman kebangkitannya saat ini.

Menurut Beka, isu kebangkitan PKI menjadi isu politik yang didaur ulang setiap tahun. Hal ini tentu berdampak pada penebalan stigma, trauma, diskriminasi, dan juga segregasi sosial.

“Yang sepertinya terus dipelihara atau dijaga, seolah-olah kemudian ada dua kubu ketika membela korban dan keluarga korban dari tragedi 1965 itu sedang membela PKI dan sebagainya. Itu patut untuk diperlakukan beda,” kata dia.

Beka menyampaikan, dalam hal ini Komnas HAM melindungi korban dan keluarga korban dari permainan isu-isu politik yang membawa PKI. Sebab, dia sendiri menerima cerita dari korban tragedi 1965 di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, atas sikap aparat pemerintahan setempat.

“Korban 1965 itu cerita mereka mau ngaji saja melakukan kumpul bareng antarkorban dan melakukan pengajian, begitu ada aparat desa, aparat kecamatan, mendengar segala macam malah minta bubar. Mereka karena ketakutan lagi dan masih trauma dengan 1965,” tutur Beka.

Untuk itu, dia meminta elite politik memikirkan para korban peristiwa 1965 sebelum memainkan isu kebangkitan PKI. Jika ini terus dilakukan, korban hanya akan mendapat penebalan stigma, menambah trauma, dan diskriminasi yang tidak berhenti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement