Jumat 01 Oct 2021 21:56 WIB

Risiko Indonesia di Tengah Pusaran Amerika Serikat dan China

Indonesia berada dalam pusaran perselisihan Amerika Serikat dan China

Indonesia berada dalam pusaran perselisihan Amerika Serikat dan China. Peta klaim Laut China Selatan
Foto: wikipedia
Indonesia berada dalam pusaran perselisihan Amerika Serikat dan China. Peta klaim Laut China Selatan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Bangkitnya ekonomi dan ekspansifnya militer China, memicu kekhawatiran Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa. Sebagai imperialis tradisional yang pernah menguasai Asia Pasifik, mereka mengkhawatirkan pengaruh ekonomi dan politik mereka di Asia terganggu.  

“Asia Tenggara dan Indonesia menjadi hotspot bila pertikaian memuncak. Ketergantungan Indonesia terhadap China dan Barat, mengakibatkan bangsa ini terjebak dalam pusaran konflik perebutan pengaruh di Laut China Selatan,” ujar Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Singgih Tri Sulistiyono, dalam keterangannya, Jumat (1/10).  

Baca Juga

Dia mengatakan, lalu lalang barang dan jasa yang melintasi Laut China Selatan (LCS) yang kerap dikawal militer dari berbagai negara, memicu ketegangan-ketegangan. Di lain pihak, Amerika Serikat dan sekutunya menganggap perairan tersebut sebagai wilayah internasional, sementara China mengeklaim wilayah LCS sebagai perairannya. 

Ketegangan dengan China tersebut, menerut dia, melecut terbentuknya aliansi pertahanan Amerika Serikat, Australia, dan Inggris (AUKUS). Salah satu poin aliansi itu, Inggris dan Amerika Serikat membantu Australia untuk membangun kapal selam nuklir. Hal tersebut bisa memicu peningkatan persaingan senjata nuklir di kawasan Asia Pasifik. 

Menurut Singgih, Indonesia bisa dipastikan terseret dalam ketegangan mengingat investasi negara-negara itu sangat besar di Indonesi. “Pemerintah Indonesia harus melakukan upaya terobosan 'silent diplomacy' atau diplomasi senyap baik dengan pihak Amerika Serikat maupun China,” papar Singgih yang memfokuskan penelitiannya terhadap sejarah maritim.  

Menurutnya, pemerintah harus punya kemampuan membaca situasi dengan cerdas, “Apakah akan berdiri di tengah-tengah ataukah harus memihak salah satu di antara dua pihak itu. Salah dalam menilai akan menyebabkan Indonesia menjadi bulan-bulanan dalam konflik internasional,” timpalnya.

Belajar dari sejarah Indonesia modern, pada pertengahan abad ke-20, Indonesia mampu menjadi 'pemain'. “Maka jika sekarang tak mampu menyiasati situasi ini, Indonesia akan menjadi pihak yang 'dipermainkan',” kata sosok yang juga Ketua Lembaga Dakwah Islam Indonesia ini. 

Sebagai pertimbangan, kata dia, meskipun negara-negara di Asia mulai bergantung dengan investasi China, secara tradisional Barat masih memiliki hegemoni yang kuat. Indonesia bahkan terkurung oleh berbagai kekuatan Barat yang secara tradisional menguasai Australia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Brunei Darussalam. 

Dia berpendapat, Pemerintah juga harus melihat, aspirasi masyarakat Indonesia yang masih memandang negatif China sebagai negara komunis. Pendek kata, menurut Singgih, pemerintah harus berhati-hati.

Dia menilai, kedekatan dengan China, berpotensi kedaulatan Indonesia di sisi timur terganggu. Papua akan terus bergolak bahkan lepas, bila Indonesia terlalu terang-benderang bila berpihak ke China. Australia sangat mungkin mengintervensi masalah Papua, sebagaimana mereka bermain dalam referendum Timor Timur.  

Singgih menegaskan, pendirian AUKUS tanpa berdialog dengan Indonesia menunjukkan pemerintah diabaikan. “Indonesia dianggap lamban oleh Barat dalam merespons situasi bahaya di depan matanya. Juga mungkin Barat memandang Indonesia pada posisi abu-abu terkait dengan kedekatannya dengan China. Hal ini menyebabkan Indonesia tidak mendapatkan keuntungan dalam konflik LCS,” ujarnya. 

Ketua Umum DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia, KH Chriswanto Santoso, mengatakan, investasi dari negara lain sangat penting. Dengan investasi tersebut, bisa mempercepat pembangunan di berbagai pelosok Indonesia, “Namun harus diperhatikan kepentingan nasional harus diutamakan, jangan sampai investasi malah justru merugikan kedaulatan bangsa Indonesia,” ujar dia.  

Membanjirnya investasi dan warga asing di Indonesia, menurut Chriswanto bisa berpotensi negatif apabila dijadikan arsitektur untuk menciptakan ketergantungan Indonesia terhadap negara lain.

“Ini bukan sifat ultranasionalisme atau chauvinisme, namun harus ada analisis dalam menyikapi investasi. Bangsa Indonesia tidak alergi invetasi asing, namun harus makin mandiri dan mengurangi ketergantungan yang menyebabkan bangsa ini sulit maju,” paparnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement